Selasa, 24 Agustus 2021

Menanti Merdeka Yang Belum Kunjung Tiba Untuk Guru Honorer



MENANTI MERDEKA YANG BELUM KUNJUNG TIBA UNTUK GURU HONORER

Malam masih gelap menyelimuti bumi, tetapi gerak serta roda kehidupan musti berjalan supaya tidak semakin didera kesulitan dan kemiskinan yang masih saja menghimpit. Diawali aktifitas berwudhu lalu melaksanakan ibadah shalat dan bermunajat kepada Allah. Mengadukan nasib serta memohon pertolongan dan perlindungan-Nya termasuk memohon supaya derajat sebagai manusia diangkat dan dimuliakan oleh-Nya, baik di dunia maupun akhirat kelak.

Ya, kepada siapa lagi harus mengadu dan berharap, karena manusia yang diberikan kekuasaan di dunia tidak mampu menjadi tumpuan serta harapan. Kepada siapa lagi berharap, apabila jutaan kalimat sudah tidak lagi didengar oleh para penguasa di dunia.

Mentari pagi muncul dengan wajah berseri, aku hanya tersenyum menyambut kedatangannya. Wahai matahari, tentu kau tahu bahwa aku adalah manusia biasa, tetapi apakah engkau tahu apabila diriku merupakan pelita cahaya yang turut membantu menyinari dunia? Lagi-lagi aku bergumam sambil tersenyum. Sayang sekali wahai matahari, posisiku tidak semulia dirimu, justru posisiku berada ditengah-tengah jurang yang siap menerima andaikata aku terjatuh. Wahai matahari, apakah kamu sadar bahwa aku juga layaknya sebagaimana qodrat seorang manusia yang kadang dapat berdiri tegak, kadang lunglai bahkan jatuh terhempas tak sadarkan diri? Ah, pasti engkau tahu dan semoga engkau tidak seperti manusia yang masa bodoh serta tidak mau tahu.

Seragam lusuh berwarna coklat sudah siap untuk digunakan. Sejenak kupandangi dan ku renungkan, lima belas tahun sudah aku berjuang demi mendidik putera-puteri bangsa. Lima belas tahun sudah aku mendedikasikan hidupku untuk negeri yang elok dan kaya. Menjelang tua dan mulai renta serta tulang yang mulai merapuh, akan tetapi semangat untuk NKRI tetap harga mati. 

Sayang seribu sayang, apa yang telah aku berikan tidak sebanding dengan apa yang diharapkan. Muridku sendiri merdeka belajar, sedangkan aku yang berprofesi seorang guru tetapi berstatus guru honorer masih tetap terbelenggu karena belum merdeka mengajar. Lagi-lagi terbentur aturan yang dibuat manusia. Ternyata seleksi ini lebih berat dan lebih keras daripada seleksi alam. 

Setetes air sekedar pelepas dahaga telah disiapkan oleh penguasa untuk bekal aku mengikuti seleksi dibukit hijau tapi layaknya ibarat padang gurun pasir yang tandus dan gersang ini. Wahai matahari, usiaku bukan lagi tahap pencari kerja, ratapku. Sedangkan aku harus bersaing untuk memperebutkan tempatku sendiri, tempat dimana lima belas tahun aku mengabdikan diriku sebagai seorang guru honorer. Adilkah ini wahai matahariku?

Apakah tidak layak apabila aku mendapatkan pengakuan dari Negara atas pengabdianku juga baktiku selama ini? Apakah pengakuannya hanya sebatas setetes air pelepas dahaga di gurun pasir yang tandus? Setelah itu, apabila kejatuhan menimpaku, akankah aku terusir dari rumahku sendiri?

Apakah aku tidak layak untuk segera diangkat dan dijadikan salah satu dari ribuan bahkan jutaan pegawaimu, wahai penguasa? Aku sudah mengalah dan menuruti walaupun kau nanti menyamakanku dengan pegawai kontrak swasta, padahal naungan pemerintah dan status negeri tempatku bekerja. Adilkah ini?

Matahari, kali ini kau berada tepat di atas diriku, pasti kau dapat melihat jelas keadaanku. Biarkan ku sejenak melepas lelah dan kembali berdo’a kepada Tuhan sebelum ku kembali pulang ke rumah dan melihat anakku menangis karena lapar. Anakku, ayahmu pulang dengan tidak membawa apa-apa, sabar dan jangan menangis. Kau harus tahu anakku, ayahmu adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kau juga harus bangga wahai anakku, ayahmu turut mencerdaskan kehidupan putera puteri generasi penerus bangsa. Sabar, tentu ayahmu akan kembali keluar untuk sekedar mencari sesuatu yang dapat mengenyangkan perutmu.

Waktu terus berjalan. Kemana engkau wahai matahari? Apakah kau sudah terlelap dalam peraduanmu sementara aku masih bersimpuh mengharap ridha Tuhan atas apa yang sudah aku kerjakan hari ini? Apakah kau tidak ingin menemani serta menerangiku karena aku masih tetap dan harus membuka buku jendela informasi dunia yang akan menambah wawasanku. Sebagai seorang guru, tentu aku akan mau untuk terus belajar, bahkan hingga akhir hayatku. Selamat tidur matahariku dan salam untuk saudaraku guru hebat di seluruh Indonesia. Tetap berbakti dan mengabdi untuk negeri. NKRI harga mati.


Penulis : Sigid Purwo Nugroho, S.H

Pekerjaan : Guru Honorer

Aktivis GTK Honorer /

Ketua GTKHNK 35+ Provinsi Jawa Barat


Don't Bully Be A Friend

  DON’T BULLY BE A FRIEND Poto Dok Sigid PN   Kondisi lingkungan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan menjadi...