Sabtu, 13 November 2021

Rangkuman Program Guru Belajar Seri Literasi Dan Numerasi

 

   Oleh : Sigid Purwo Nugroho, S.H., S.Pd
   Guru PPKN
   SMPN Satu Atap Cibulan

Modul 1 Konsep Dasar Literasi dan Numerasi

Menelusuri literasi masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang, melampaui peluncuran  pertama kali UNESCO pada tahun 1946 mengenai global literacy effort. Menurut para arkeolog, filolog dan antropolog bahwa literasi tulis-menulis di nusantara sudah berkembang mulai abad 5 masehi sejak kehadiran Hindu dan Budha serta tercatat di abad 13 ketika agama Islam datang. Di masa Hindu dan Budha sudah dikenal bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa, di era Islam berkembang bahasa Arab dengan  aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu.

Bahkan berdasarkan penuturan beberapa arkeolog, literasi (dalam artian literasi gambar) telah ada pada masa pra sejarah ribuan tahun yang lampau. Berdasarkan keterangan Indonesianis dari Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Menurutnya, karena sudah memiliki kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya. Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta, disebabkan hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015). Ditinjau dari perspektif ini maka masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia secara empirik tidak dapat dipungkiri telah tumbuh dan berkembang literasinya (Suprajogo, 2020). 

Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu diidentikkan dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangan berikutnya, dimaksudkan literasi adalah suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi ini -plus kemampuan menghitung- sering diistilahkan sebagai literasi dasar (basic literacy). Seiring dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, apatah lagi di era digital saat ini, maka konsep dan definisi serta pemaknaan literasi kian kompleks dan variatif. Dari 6 (enam) macam literasi dasar yang diperkenalkan oleh World Economic Forum (WEF) hingga literasi untuk kesejahteraan (functional literacy dalam istilah UNESCO di tahun 1965). Dari pengertian literasi di tahun 1957, UNESCO menyebutkan bahwa seseorang dapat disebut literat apabila bisa memahami, baik dengan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana yang singkat tentang kehidupannya sehari-hari hingga literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan materi cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks (UNESCO, 2004, 2017). Bahkan lebih jauh konsep literasi dalam perkembangannya adalah menekankan pada pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan. Literasi melibatkan suatu rangkaian kesatuan pembelajaran dalam memampukan individu-individu untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, serta berpartisipasi secara penuh di dalam komunitas  mereka dan masyarakat luas (UIS, UNESCO, 2018).   

Berangkat dari variasi dan perkembangan konsep, definisi dan pemaknaan literasi setidaknya dari yang dikemukakan UNESCO dari tahun ke tahun, tentu ketika disebutkan  bangsa tertentu adalah rendah literasinya maka harus dibatasi dan disepakati terlebih dahulu konsep, definisi dan makna literasi  yang dimaksud. Penentuan konsep, definisi dan pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter, variabel dan indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur tingkat literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam mendefinisikan dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara proporsional sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur kunci terkait definisi literasi UNESCO seperti  disebutkan oleh Montoya (2018) yaitu: 

  1. Literasi adalah tentang penggunaan yang mana masyarakat menjadikannya sebagai sarana berkomunikasi dan berekspresi, melalui berbagai media;
  2. Literasi bersifat jamak, dipraktikkan dalam konteks tertentu untuk tujuan tertentu dan menggunakan bahasa tertentu;
  3. Literasi melibatkan kontinum pembelajaran yang diukur pada tingkat kemahiran yang berbeda.

Kelisanan dan literasi sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika sebuah bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka telah menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri lebih jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad), mereka terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari generasi ke generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan budaya bertutur (orality). Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan suatu kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang dimiliki. Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga bangsa Arab yang dikenal dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis) (al Alusi, t.t.; 38-48)  dan bangsa Yunani dan Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang terbiasa menggunakan lisan dan belum mengembangkan -secara formal- kebiasaan membaca dan menulis dapat dijuluki illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga karenanya masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate society, namun bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa dituding tidak literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif  (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara pandang ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan tradisi dan budaya lisan dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis) pada konteks masyarakat dan sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan karena adanya kebiasaan bertutur (orality). Jika ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), justru terdapat hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik bagaimana murid-murid memperoleh pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses yang mana mereka mempelajari bahasa lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-71). Semakin kaya murid-murid mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson, 1985; 21-22). Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa paling tua dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98). 

Dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan bagi pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar, diksi yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan sempurna jikalau diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan aneka peristiwa dalam urutan yang wajar. Sesungguhnya penumbuhan budaya keaksaraan adalah dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging literacy. Emergent literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak merupakan prasyarat untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan saling mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat dilakukan melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita (Akhadiah, 1998; 33-35). 

Di rumah, murid-murid memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran dan perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral language). Banyak murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita, bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata. Perkembangan awal pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan belajar tentang dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas. Pengalaman yang luas semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua berbicara ke murid-murid mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi pengetahuan apa yang murid-murid peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan mereka berikutnya untuk menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika membaca. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Suprajogo, 2020).

Sebenarnya murid usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya literasinya. Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara yang menyenangkan dan tidak dipaksa.  Pandangan tentang murid usia dini harus bisa calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki  sekolah dasar. Secara formal, kurikulum PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung (membaca, menulis dan berhitung). Namun terdapat anggapan  bahwa murid yang tidak bisa calistung maka akan menjumpai  kesulitan ketika memasuki jenjang SD. Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas teks pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa calistung.

Pada beberapa sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk  sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian formatif maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa membaca dan menulis. Di masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK yang mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan menggaransi ketika murid lulus bisa calistung, justru banyak diminati. Berawal dari pola pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik (calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk mengabaikan berbagai potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan murid (developmentally appropriate practice).

Mengikuti penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan. murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35).

Dunia murid usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar murid usia dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita dengan sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas meja, harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran, diam seribu bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu guru di depan kelas. Padahal sebenarnya aktivitas murid adalah aktivitas bermain. Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia murid-murid. Bermain adalah kebutuhan murid-murid secara alamiah. Tanpa diminta, diperintah apalagi dipaksa, murid-murid pasti sangat suka bermain. Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang pasti membuat lupa waktu dan murid-murid tenggelam dalam keasyikan tersebut (Roshonah, 2015; 35).

Literasi seharusnya memang berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan melalui kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain. murid-murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa depan mereka. Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik, perkembangan emosional, sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya. Dengan bermain, murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca, tulis dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya. 

Melalui bermain, murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan yang sangat kaya. Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari bahasa lisan (spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam keseharian. Mulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga orang-orang yang berada di sekitarnya dan di sekolah dasar. Di dalam keluarga dapat dilakukan secara natural kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan lingkungan literasi. Semuanya dilakukan dalam bentuk aktivitas bermain.  Mulai bermain tebak-tebakan kata, mendengarkan cerita dan ikut terlibat dalam kegiatan bercerita, menggambar dan mewarnai gambar diiringi dengan memaknai gambar dengan mendengar komentar dari murid-murid, memanfaatkan kertas dan semacamnya dengan beragam alat tulis sederhana untuk melakukan kegiatan mencorat-coret, mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk mainan kartu dan sebagainya. 

Lingkungan literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan menjadi pondasi penting agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca menulis dan berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan dari aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman pra-membaca yang menyenangkan. Tampak di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik belajar yang kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan melalui bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD, konsentrasi pada aktivitas belajar formal tidak jarang mengabaikan kesempatan murid didik untuk bermain guna menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan dan kecakapan literasinya melalui beraneka ragam kegiatannya. 

Bagi siswa-siswi SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka miliki untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat variatif. Dari kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-topik yang menarik perhatian remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan saling membacakan buku,  membuat dan mengisi majalah dinding, blog, dan web site, hingga cerpen, novel, esai populer dan menulis buku. Yang terpenting adalah bagaimana aktivitas literasi menjadi kegiatan yang mampu mewadahi mereka untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan kesenangan dan mengekspresikan gagasan positif, kreatif, dan inovatif remaja.

Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang diartikan pada awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang mengetahui (aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf. Dalam istilah Yunani, grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera, artinya huruf alfabet. Di akhir abad 18, istilah literasi secara khusus diartikan berkenalan dengan sastra. Pada tahun 1894, sebagai kata benda, literasi diartikan, seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari konsep dan definisi literasi awal ini tampaknya yang menimbulkan kesalahpahaman pandangan mengenai literasi. Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika program literasi, yang awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan seseorang dapat membaca alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam suatu negara dijadikan alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif ideologis bangsa atau kelompok masyarakat yang dominan. Mereka yang tidak dapat membaca aksara, kelompok ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan demikian, terbelakang dan harus ‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12). Padahal dalam perkembangannya, literasi mengalami perluasan konsep, definisi, dan makna yang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang ada. 

Literasi membaca pada umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa aksara (huruf). Membaca secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Juga membaca diartikan adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis. Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada teks tertulis atau berupa aksara (huruf)? Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang memiliki makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan berupa aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis. Dilacak dari pengalaman masa lampau, telah ditemukan lukisan gua berupa coretan, gambar, atau cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang purba sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa. Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat komunikasi antar manusia pada zaman dahulu. Untuk saat ini, teks visual dalam bentuk gambar, ilustrasi, material dari media massa seperti iklan, poster, infografis, juga presentasi visual dalam bentuk bagan, grafik, diagram dan peta maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11). Termasuk di dalam literasi membaca tentunya adalah membaca tanda-tanda alam sebagaimana yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada, masyarakat nusantara terdahulu hingga masih dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu seperti membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku (orion) dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa Jawa, pranoto mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut atau tidak, dan sebagainya.  

Miskonsepsi berikutnya mengenai literasi adalah pandangan bahwa literasi identik dengan membaca, bukan yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh pendapat yang mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis (Whitehead, 1990; 172, Kennedy, 2012; 41). Keempatnya merupakan keterampilan ataupun seni berbahasa (language arts, language skills). Satu dengan yang lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002; 278-279). Aktivitas proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat keterampilan (seni) berbahasa ini akan meningkatkan kemampuan berpikir, berkomunikasi dan belajar seseorang.

Keempat keterampilan berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini. Literasi dini ini utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak kelahiran seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi janin di dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan Golant, 1985, Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan pengasuhan 1000 HPK (Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018). Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian orangtua. Namun perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus (Dewayani dan Setiawan, 2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan literasi di rentang waktu 1000 hari itu melibatkan aktivitas mengajak berbicara, mendengar, mengajukan pertanyaan terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi, membacakan buku, menggambar, mencorat-coret, dan sebagainya. Menenggelamkan (immersion) mereka secara penuh dalam lingkungan budaya keaksaraan (literacy environment).  

Memakai konsep sesuai dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada kegiatan pembelajaran dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus mencerminkan kebutuhan perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-linguistik (Otto, 2015; 156). Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid, terutama cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya ditandai dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan pengolahan informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24). murid-murid usia dasar cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa penyempurnaan selanjutnya. Kosakata berlanjut untuk berkembang sebagaimana aktivitas membaca ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun rata-rata orang muda mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir abstraknya, remaja dapat menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah menggunakan istilah-istilah yang mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih sadar akan kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang menggunakan ironi, permainan kata dan metafora. Mereka juga sudah lebih terampil dalam menggunakan perspektif  sosial yaitu kemampuan untuk merangkai kata-kata pada tingkat pengetahuan dan sudut pandang orang lain (Owens, 1996 dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27).  Berbasis pada konsep, tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan perkembangannya, maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi penggunaan dari semua aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis secara menyeluruh dan integratif, tidak parsialistik dan dikotomistik. Yang mana ini harus diterjemahkan dalam strategi, metode, dan teknik menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di dalam kurikulum, materi maupun media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada format aktivitas membaca semata. 

Apalagi lagi di era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang banjir stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital dalam desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film (Dewayani, 2017; 43), perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi, hiburan dan permainan dan media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya. Literasi kekinian tetap dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan berbahasa itu dengan pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional. Strategi, metode, dan tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta perilaku remaja saat ini. Literasi tidak dapat dipaksakan, apalagi pada remaja hanya dalam bentuk aktivitas membaca.  Oleh karenanya, media multimodal, media yang melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio, visual, audiovisual, gestur dan teks spasial,  menjadi bagian penting dari kehidupan siswa. Sudah tepat, buku Panduan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) ketika mengartikan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (GLS, 2017).

1.a.2. Definisi, Konsep dan Makna Literasi dalam Lintasan Waktu

Setelah kita mempelajari latar belakang munculnya miskonsepsi literasi dan bertanya jawab mengenai beberapa miskonsepsi literasi, mari kita perkuat pengetahuan dan pemahaman kita perihal definisi, konsepsi dan makna literasi itu sebenarnya.

Silakan pelajari materi yang diberikan pada setiap halaman, dan berikan ringkasan singkat menggunakan bahasa sendiri untuk lebih memperkuat materi.

Bapak/Ibu juga dapat menyimak dan memberikan komentar terhadap jawaban peserta lainnya agar mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai materi yang dipelajari.

1.        Definisi, Konsep dan Makna Literasi menurut UNESCO.

Konsep dan definisi literasi menurut UNESCO senantiasa mengalami perkembangan selama kurang lebih 5 (lima) dekade hingga sekarang. Pada tahun 1965, literasi diartikan sebagai keterampilan membaca, menulis dan aritmatika. Sesuai konsep ini, numerasi diposisikan sebagai bagian dari literasi maupun dipisahkan dari literasi. Di tahun 1957, UNESCO menyebutkan bahwa seseorang dapat disebut literat apabila bisa memahami, baik dengan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana yang singkat tentang kehidupannya sehari-hari. Tahun 1970-an dimulai gerakan ke arah menghubungkan literasi dengan pengembangan dan keterampilan kejuruan, menandai pengakuan bahwa literasi berfungsi sebagai kompetensi kunci dalam mengejar pembangunan sosial-ekonomi. Diberi label 'literasi fungsional', sebagian besar berfokus pada inisiatif skala kecil yang dapat dilakukan oleh individu dan kelompok di tingkat masyarakat, melalui memperoleh akses ke pengetahuan baru (tentang pertanian, pengolahan dan pemasaran produk, kerajinan dan perdagangan), memperoleh keterampilan manajemen yang lebih baik (mencatat akun, mendokumentasikan rapat dan keputusan, mencatat panen, mengelola irigasi) atau berpartisipasi dalam jaringan ekonomi (koperasi, pendaftaran pemerintah, proposal pendanaan dan laporan). Dalam kurun lima dekade tersebut, konsep literasi telah berkembang dari keterampilan membaca, menulis, dan berhitung dasar menjadi gagasan yang lebih luas seperti literasi fungsional dan landasan untuk pembelajaran sepanjang hayat. Definisi literasi terbaru adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan materi cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks (UNESCO, 2018). Yang mana literasi melibatkan rangkaian kesatuan pembelajaran yang memampukan individu dalam mencapai tujuan mereka, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, dan untuk berpartisipasi secara penuh dalam komunitas dan masyarakat luas mereka.

2.        International Literacy Association (ILA)

ILA mendefinisikan literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, menghitung, dan berkomunikasi menggunakan materi visual, audio, dan digital lintas disiplin ilmu dan dalam konteks apa pun.

3.        Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Menurut definisi yang dikemukakan di dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara (2017). Dalam Panduan Gerakan Literasi Nasional (GLS), Kemendikbud memperkenalkan dimensi literasi yang mencakup literasi baca dan tulis, numerasi, sains, digital dan literasi budaya dan kewargaan sebagaimana yang dikemukakan oleh OECD.

4.        Menurut OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)

Literasi menurut pengertian OECD adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi tercetak dalam kehidupan sehari-hari kegiatan, di rumah, di tempat kerja dan di masyarakat untuk mencapai tujuan, dan untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi seseorang

5.        Perpustakaan Nasional RI

Berdasarkan versi Perpustakaan Nasional RI, mengartikan literasi dalam konsep 4 (empat) hierarki literasi yang meliputi kemampuan mengumpulkan sumber-sumber bacaan, kemampuan memahami yang tersirat dari yang tersurat, kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan baru, teori baru dan kreativitas serta inovasi baru hingga memiliki kemampuan menganalisis informasi dan menulis buku, yang terakhir adalah kemampuan menciptakan barang atau jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global. Keempat hierarki literasi ini dapat diterapkan sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakat yang riel. Bagi masyarakat yang belum memiliki akses terhadap adanya buku, maka dilakukan strategi, program dan kegiatan berupa mengumpulkan sumber-sumber bacaan. Kemudian apabila masyarakat sudah terpapar bahan-bahan bacaan, maka perlu dimotivasi dan stimulasi untuk tumbuh dan berkembang minat, kegemaran dan budaya bacanya. Tidak berhenti di aktivitas membaca buku, tetapi harus lebih jauh berupaya memahami pesan baik berupa pengetahuan maupun informasi yang dapat diperoleh dari bahan bacaan itu. Meningkat dari kemampuan memahami bacaan, adalah mendialektikkan antara pengetahuan yang dimiliki si pembaca dengan gagasan yang dikemukakan oleh si penulis buku. Melalui proses ini diharapkan mampu secara kreatif melahirkan konsep-konsep baru yang inovatif. Ide-ide yang inovatif diterjemahkan dalam wujud barang dan jasa yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

6.        New Literacy Studies (NLS)

‘The New Literacies Studies’ diuraikan secara tata bahasa berbeda dari ‘the New Literacy Studies’.  NLS adalah tentang mempelajari literasi dengan cara baru. 'The New Literacy Studies' adalah tentang mempelajari jenis literasi baru di luar literasi cetak, terutama 'literasi digital' dan praktik literasi yang tertanam dalam budaya populer. The New Literacies Studies memandang berbagai alat digital sebagai teknologi untuk memberi dan mendapatkan makna, seperti halnya bahasa (Alvermann et al. 1999; Buckingham 2003, 2007; Coiro et al. 2008; Gee 2004, 2013; Hobbs 1997; Jenkins 2006; Kist 2004 ; Knobel dan Lankshear 2007; Kress 2003; Lankshear 1997; Lankshear dan Knobel 2006; New London Group 1996). Singkatnya NLS memandang literasi adalah sebagai suatu gerakan sosial.

Pengertian Literasi Menurut Para Ahli

Pengertian literasi dapat diartikan menjadi literasi secara umum dan literasi digital. Agar menyingkat pembahasan dan uraian, maka pada kesempatan kali ini akan di ulas pengertian literasi secara umum terlebih duhulu.

Secara umum, pengertian literasi diambil dari bahasa serapan Inggris, yaitu literacy. Dimana dapat diartikan sarana untuk sumber belajar. Ternyata pengertian literasi itu sendiri tidak hanya diartikan dalam satu sudut pandang saja loh. Ada banyak pengertian literasi menurut para ahli. Tentu saja setiap orang memiliki pendapatnya masing-masing.

Bahkan, kamu sendiri pun juga bisa mengartikan literasi sesuai dengan apa yang kamu rasakan dan kamu pahaami. Atau mungkin, kamu memiliki definisi lain tentang literasi. Sayangnya ktia sebagai orang biasa yang tidak banyak dikenal. Akan beda cerita jika pendapat dan pengertian ini disampaikan oleh orang orang yang berpengaruh dan orang besar.

Berikut adalah pengertian literasi menurut beberapa ahli. Semoga dengan pengertian ini pun mampu menyentil kesadaran diri akan pentingnya literasi dalam kehidupan sehari-hari. pentingya literasi untuk meningkatkan kualitas hidup, mematangkan keterampilan dan memperlancar dalam membangun komunikasi dengan dunia sosial dan semacamnya. Langsung saja, berikut pendapat para ahli dan organisasi terpercaya.

Pengertian Literasi Menurut Para Ahli dan Organisasi Dunia

1. Menurut Elizabeth Sulzby

Literasi menurut Elizabeth Sulzby adalah kemampuan seseorang dalam berbahasa dan berkomunikasi. Dimana orang tersebut tidak hanya memiliki kemampuan membaca saja. Tetapi juga memiliki kemampuan menyimak, berbicara serta menulis.

Dari apa yang disampaikan oleh Elizabeth di atas menunjukan bahwa literasi sebagai faktor utama agar seseorang bisa berkembang dan melek ilmu pengetahuan lewat membaca. Setidaknya pula, lewat membaca mengantarkan individu tersebut memiliki keterampilan lain selain pengetahuan. Misalnya memiliki keterampilan lain dibidang yang telah mereka baca atau semacamnya.

2. Menurut Harvey J. Graff

Sependapat dengan pendapat Harvey J. Graff, yang mengartikan bahwa literasi adalah kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Setidaknya dengan dua hal ini masyarakat menjadi lebih melek ilmu pengetahuan.

Pengetahuan yang didapatkan dari membaca inilah yang juga bisa mengasah keterampilan berkomunikasi dengan baik. Serta meningkatkan mutu kehidupan karena memiliki keterampilan tambahan lain. Misalnya terampil menulis buku dan mendapatkan royalty atau semacamnya.

3. Pengertian Literasi Menurut Jack Goody

Sebenarnya pendapat Jack goody pun juga sama inti dari pengertian literasi. Yaitu kemampuan individu dalam membaca dan menulis. Namun hemat saya, memang literasi itu sangat penting. Karena pentingnya peranan literasi inilah mampu menentukan kredit point sebuah Negara.

Sebut saja Negara-negara seperti Jepang, Eropa dan Amerika. Masyarakatnya memiliki kesadaran tinggi akan literasi. Jauh berbeda dengan Indonesia yang kesadaran literasi masih sangat rendah. Secara umum, disini kita bisa melihat bahwa Negara yang memiliki kesadaran dan pengertian literasi dengan baik lebih mudah diajak untuk memajukan negaranya. Terbukti Negara-negara tersebut pun juga berkembang pesat dari banyak sektor.

4. Menurut Kamus Online Merriam –  Webster

Menurut kamu online marriam Webster literasi adalah kemampuan melek aksara pada individu. Dimana melek aksara ini tidak hanya diartikan sebagai melek aksara dalam arti sebenarnya, misalnya membaca buku dan semacamnya. Tetapi termasuk juga kemampuan membaca dan memahami ide-ide secara visual.

Termasuk ketika melihat iklan reklame atau melihat iklan baliho maupun poster. Karena tidak semua orang mampu menerjemahkan dan memahami pesan visual yang ditampilkan. Itu sebabnya banyak reklame dan baliho sering disertai dengan pesan kalimat singkat untuk memudahkan dalam pemahaman dan membaca pesan.

5. Menurut Alberta

Berbeda pendapat dengan Alberta. Ia mendefiniskan lebih kritis terhadap dunia literasi. Dimana ketika seseorang membaca dan menulis, selain mendapatkan pengetahuan, juga mengasah ketrampilan, berfikir kritis terhadap masalah yang ada.

Karena bagaimanapun juga, memiliki kemampuan literasi juga akan memberikan banyak keuntungan bagi individu sendiri. Misalnya memiliki wawasan lebih luas. Semakin luas wawasan, tentu saja semakin terbuka dalam mengahdapi masalah, konflik ataupun dalam menyikapi masalah kehidupan.

6. Menurut Cardon

Mengartikan sebagai sumber ilmu yang sifatnya membangun imajinasi individu tersebut. Tidak hanya itu saja, literasi juga diartikan oleh Cordon sebagai sarana untuk menjelajahi dan mencari ilmu pengetahuan. Tentu saja ilmu pengetahuan yang akan mempengaruhi banyak hal dan mengubah hal baru dari individu tersebut.

7. Menurut Goody dan Kern

Goody mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Beda dengan Kern yang mendefinisikan literasi memiliki 7 prinsip pendidikan. Dimana ketujuh prinsip tersebut meliputi interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri dan penggunaan bahasa. Dimana ketujuah prinsip tersebut saling berpengaruh.

Itulah beberapa pegnertian literasi menurut beberapa ahli dan lembaga. Dari banyak pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, artinya sama. yaitu kemampuan untuk membaca, menulis dan membangun komunikasi.

Selain memahami pengertian literasi, ada beberapa hal penting yang sering diabaikan oleh pengiat literasi. Yaitu bagaimana mengemas dan mengajak masyarakat sadar akan pentingnya literasi untuk membangun peradaban dan meningkatkan kemajuan dari berbagai sektor.

Terutama untuk sektor pendidikan, perekonomian dan intelektual. Nah, dari pengertian literasi di atas, diharapkan semakin banyak pejuang literasi atau masyarakat yang sadar akan pentingnya literasi.

Apakah Anda setuju dengan pernyataan pada miskonsepsi berikut. Berikan alasannya!

1)    Anak yang bisa membaca saat lulus PAUD berarti perkembangan literasinya bagus.

Jawab:

Perkembangan literasi pada anak usia sampai 8 tahun adalah kemampuan anak menerima informasi lisan dengan tepat, menyampaikan ide, gagasan dengan cara berbicara runut dan pilihan kata beragam. Anak selesai pendidikan di PAUD yang sudah membaca lancar, sebagian besar masih perlu dibantu untuk memahami bacaan lisan disebabkan urutan stimulasi keterampilan berbahasa tidak sesuai dengan urutan yaitu menyimak, berbicara, menulis dan membaca. Aspek lain yang mempengaruhi adalah stimulasi pengetahuan bahasa yang dimulai dari visual bunyi (huruf) yang seharusnya dimulai dari bunyi ( fonem, nada, jeda, tekanan dan tempo.

2)    Cara mengukur perkembangan literasi adalah dengan tes baca tulis saat masuk SD.

Jawab:

Perkembangan literasi pada anak usia di bawah 8 tahun seharusnya dilakukan dengan bahasa lisan dalam bentuk tanya jawab. Untuk mengecek pengetahuan bunyi bahasa dilakukan dengan cara mengecek bunyi yang dikenal. Keterampilan menulis dilihat dari kemampuan meggunaan alat tulis dan ide yang dituangkan dalam bentuk gambar.

3)    Siswa SMP kurang minat baca karena lebih tertarik dengan gawai.

Jawab:

Sebagian besar anak lebih tertarik dengan gawai karena tidak mendapatkan keterampilan membaca untuk belajar. Keterampilan membaca untuk belajar perlu dilatihkan dan diulang pada semua mata pelajaran. Anak dilatih mulai dari memilih buku, aneka teknik  membaca, dimodelkan dan diberikan aneka jenis tema untuk dibaca.  

Keterampilan berbahasa terdiri dari keterampilan reseptif dan produktif. Keterampilan reseptif terdiri dari keterampilan menyimak untuk bahasa lisan dan keterampilan membaca untuk bahasa tulis (teks). Keterampilan produktif terdiri dari keterampilan berbicara untuk bahasa lisan dan keterampilan menulis untuk bahasa teks.

Keterampilan berbahasa pada murid, dimulai dari berbahasa lisan. Pada awal masa perkembangan murid menyerap bahasa dari bunyi yang diterima. Dari perkembangan struktur dan fungsi otak manusia mulai merespon bunyi sejak di kandungan sekitar usia 5 bulan. Pada saat itu, alat pendengaran janin sudah mulai bekerja. Dilihat dari fungsi organ pendengaran, dapat dikatakan bahwa bahasa reseptif secara potensial dimulai dari janin.

Ketika bayi lahir, dipastikan ia menangis. Pada saat bayi menangis, ia mengeluarkan suara sebagai indikator organ artikulasi bekerja dengan baik. Organ artikulasi akan memproduksi bunyi untuk berkomunikasi. Sejalan dengan kematangan organ artikulasi murid menyimak aneka bunyi dan mulai membedakan bunyi bermakna. Kemampuan berbicara dimulai dengan produksi bunyi. Makna bunyi yang pertama diproduksi murid adalah nada. Sejalan dengan perkembangan bicara murid mulai mengucapkan kata yang dimulai dari suku kata, lalu kata sederhana. Saat itulah murid belajar keterampilan menyimak dan berbicara. Inilah yang disebut tradisi kelisanan yang akan menjadi dasar keterampilan berbahasa tulis (teks). Secara berurut perkembangan keterampilan berbahasa adalah sebagai berikut:

Perkembangan keterampilan dengan urutan ini terjadi mulai dari 0 tahun hingga usia 8 tahun. Berdasarkan urutan perkembangan ini, maka pada awal belajar bahasa murid mulai dari mengenal bunyi. Setiap bahasa memiliki struktur bunyi yang khas. Demikian juga dengan bahasa Indonesia. Pada saat seseorang belajar berbahasa hal yang pertama dilakukan adalah mengenal karakteristik bunyi bahasa tersebut. Pada Bahasa Indonesia, terdiri dari 6 bunyi vokal tunggal dan 4 gugus vokal (diftong). Ada 27 bunyi konsonan Bahasa Indonesia.  Bunyi vokal dan konsonan disebut fonem segmental, artinya bunyi yang dapat dibagi-bagi. Karakteristik bahasa Indonesia, unsur suprasegmental berfungsi pada tataran kalimat.

Seseorang berkomunikasi dengan bunyi dilakukan dengan aktivitas berbicara, yaitu proses produksi bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat wicara (organ artikulasi). Rangkain bunyi yang bermakna yang disebut bahasa. Pada saat seseorang berbicara, ia menggunakkan bahasa lisan untuk berkomunikasi.  Bahasa lisan dan verbal (bicara) merupakan ciri manusia yang unik. Kedua kemampuan tersebut juga sangat berkaitan dengan proses berpikir (Sidiarto Kusumoputro, 1992). Kemampuan berbahasa memenuhi kebutuhan penting lain dalam kehidupan; yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial.

Keterampilan berbahasa terdiri dari reseptif dan ekspresif. Keterampilan bahasa reseptif adalah kemampuan seseorang memahami pesan lisan. Dalam menyampaikan informasi secara verbal kepada pihak penerima pesan maka pengirim pesan harus memiliki kemampuan berbicara yang baik, yang meliputi ketepatan pelafalan dan penggunaan nada, jeda dan tempo yang tepat. Kemampuan menyampaikan pesan yang tepat ini disebut keterampilan ekspresif. Pada komunikasi tulis tampak pada penggunaan tanda baca dan huruf kapital.

Pada saat murid-murid belajar berbahasa pada saat yang sama ia juga belajar pengetahuan bahasa. Ada lima komponen pengetahuan bahasa yaitu: fonetik, semantik (makna), kalimat, kata dan pragmatik (wacana) (Otto; 2015).

  1. Fonetik

Fonetik adalah hubungan simbol dan bunyi. Fonem adalah unsur terkecil yang berbentuk bunyi yang dapat membentuk makna. Setiap bahasa memiliki struktur fonem yang khas.

  1. Semantik

Semantik adalah makna yang terkandung pada kata. Ada makna yang mirip, berlawanan, dan persamaan.

  1. Kalimat

Kalimat adalah susunan kata yang memiliki makna yang utuh. Pada penulisan diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik.

  1. Kata

Kata adalah gabungan dari bunyi yang merujuk pada satu makna. Kata terdiri dari kata asal dan berimbuhan. Proses pembentukan kata pada setiap bahasa bersifat khas. Pada bahasa Indonesia perubahan kata dengan imbuhan dapat mempengaruhi makna dan kelas kata. Kata tulis (verba) bermakna kegiatan

Kata tulis + an menjadi tulisan (nomina)  bermakna hasil tulisan

  1. Pragmatik

Telaah makna yang berkaitan dengan konteks pembicaraan disebut pragmatik. Pragmatik dimulai dari komunikasi lisan yang paling sederhana yaitu dari gerak, mimik, bunyi dan kata. Pada bahasa teks pragmatik dimulai dari tataran wacana yang berwujud paragraf.

Perkembangan pengetahuan bahasa berproses dari tiga fase:

  1. Fase pengetahuan bahasa:  Pengetahuan komponen linguistik yang terdiri dari bunyi (fonem), kata, kalimat, makna (semantik) dan pragmatik.
  2. Fase Pengetahuan Metalinguistik : Kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan bahasa secara sadar dalam berkomunikasi lisan dan tulisan.
  3. Fase Aplikasi Pengetahuan Metalinguistik: Kemampuan seseorang dalam menerapkan komponen linguistik pada saat berkomunikasi lisan dan teks (tulisan/gambar) sesuai dengan pembaca/pendengar,   tujuan dan konteks.

Perkembangan proses berpikir dapat dilihat dari perkembangan otak yang merupakan perubahan struktur dan fungsi otak sesuai dengan usia individu. Perkembangan otak juga dapat diartikan sebagai proses berkelanjutan yang dimulai pada masa kehamilan minggu ketiga dengan diferensiasi pada sel saraf progenitor (sel yang belum memiliki fungsi yang spesifik)  dan berkembang menuju kepada pembentukan sel saraf yang spesifik selama kehidupan, untuk dapat mengolah informasi dari lingkungan secara spesifik. 

Faktor yang mempengaruhi perkembangan otak adalah proses pembentukan molekul gen yang memerlukan nutrisi yang cukup dan stimulus untuk memacu terbentuknya konektifitas antar sel saraf (wiring system), memicu timbulnya diferensiasi struktur dan fungsi saraf yang baru. 

Perkembangan otak terus berlangsung sampai periode postnatal. Ukuran otak meningkat empat kali lipat selama periode pra sekolah, mencapai 90% dari volume orang dewasa saat usia 6 tahun. Namun perubahan structural gray matter dan white matter akan berlangsung sampai dengan dewasa serta perubahan paralel struktur fungsional yang tercermin pada perilaku dan pembelajaran. Selama periode postnatal awal, tingkat konektivitas di seluruh bagian otak berkembang jauh melebihi orang dewasa.

Numerasi

Dari sebuah catatan sejarah, istilah dan konsep numerasi atau numeracy pertama kali diperkenalkan di sebuah laporan bernama Crowther Report pada tahun 1959 (Cockcroft Report, 1982). Pada catatan ini numerate didefinisikan sebagai 'a word to represent the mirror image of literacy'. Numerasi mengandung dua hal yaitu kemampuan untuk menggunakan keterampilan matematika di dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuan mengapresiasi dan memahami informasi yang disajikan dalam istilah matematika seperti tabel, grafik atau yang lainnya (Cockcroft, 1982).

Programme for International Student Assessment (PISA) menggunakan istilah literasi matematika yang tidak lain adalah numerasi. PISA menyatakan bahwa literasi matematika atau numerasi adalah kemampuan individu untuk bernalar secara matematis dan memformulasikan, menggunakan dan menginterpretasikan matematika untuk menyelesaikan masalah di berbagai konteks dunia nyata (OECD, 2018). Hal ini mencakup konsep, prosedur, fakta maupun alat matematika yang digunakan untuk menjelaskan fenomena. Kemampuan numerasi dapat membantu individu untuk memahami peran matematika dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini juga sejalan dengan definisi yang digunakan oleh Australian Curriculum, Assessment and Reporting Authority (ACARA) yang menyatakan bahwa numerasi adalah kemampuan, keterampilan dan disposisi yang dibutuhkan murid untuk menggunakan matematika pada situasi yang lebih luas (ACARA, 2013). Di kurikulum Australia sendiri numerasi merupakan salah satu kemampuan umum yang harus dimiliki murid. Murid dikatakan memiliki kemampuan numerasi yang baik jika mereka dengan percaya diri dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan matematika di bidang lainnya dan dalam lingkup kehidupan yang lebih luas.

Menurut Geiger, Good dan Forgasz (2015), numerasi adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengakomodasi tuntutan matematika dalam kehidupan pribadi dan sosial serta untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat sebagai warga negara yang terinformasi, reflektif dan berkontribusi. Numerasi berbeda dengan matematika, juga bukan sebagai alternatif matematika. Matematika merupakan sesuatu yang abstrak. Sementara numerasi menekankan pada sesuatu yang konkret dan kontekstual, serta menawarkan solusi terhadap permasalahan dunia nyata (Steen, 2001). Selain itu, menurut Askew dan Askew (1997) numerasi adalah kemampuan untuk memproses, mengkomunikasikan dan menginterpretasikan informasi numerik dalam berbagai konteks.

Numerasi merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan konsep maupun prosedur matematika dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari pada berbagai konteks yang relevan sebagai individu dan warga negara Indonesia dan dunia (Pusmenjar, 2020).   

Hal   ini   terkait   dengan   bagaimana   seseorang   menggunakan   pengetahuan matematikanya untuk menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan terkait dengan hal-hal yang muncul dalam kehidupan sehari -hari.Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita. Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika secara praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis, misalnya grafik, bagan, dan tabel.

Dalam penerapannya, numerasi haruslah bersifat kontekstual. Hal ini misalnya dapat disesuaikan dengan permasalahan sehari-hari yang dihadapi oleh murid, menyesuaikan dengan kondisi geografis, sosial budaya atau ekonomi di mana konteks tersebut diangkat. Dalam penerapannya di Indonesia, penerapan numerasi diharapkan dapat dilandaskan pada cakupan matematika yang terdapat pada kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan. Dalam pengembangkan kemampuan numerasi yang optimal, numerasi juga diharapkan dapat saling bergantung dan memperkaya unsur-unsur literasi lainnya.

Seperti yang dibahas pada bagian miskonsepsi sebelumnya, numerasi dan matematika adalah dua hal yang berbeda tetapi berkaitan satu dengan yang lainnya. Numerasi bersifat praktis dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini dapat diamati bahwa cakupan numerasi sangat luas, tidak hanya di dalam mata pelajaran matematika.

Merrilyn Goos mengembangkan sebuah model numerasi yang terdiri dari beberapa elemen seperti pada tabel berikut ini (Goos, Dole, & Geige, 2012).

https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/LitNum/1b/goos.png

Pada tabel di atas ada lima elemen penting numerasi yang dijabarkan oleh Goos. Kesemua elemen tersebut adalah elemen yang penting dan dapat mendukung pengembangan kemampuan numerasi murid Bapak Ibu di sekolah. Sementara itu, Kemp dan Hogan (2000) juga menambahkan bahwa seseorang yang melek numerasi seharusnya memiliki pengetahuan matematika, pengetahuan kontekstual dan pengetahuan strategi. Dari penjelasan ini Bapak Ibu dapat melihat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam mengembangkan kemampuan numerasi murid Bapak Ibu. Tidak hanya pengetahuan matematika saja, tetapi aspek pendukung lainnya. Konteks atau permasalahn kontektual akan dibahas lebih jauh pada bagian berikutnya.

https://numeracyguidedet.global2.vic.edu.au/evidence-base/

Salah satu hal penting yang juga perlu untuk dibahas lebih lanjut karena berkaitan erat dengan numerasi adalah masalah kontekstual. Nah apa sih sebenarnya masalah kontektual itu?

Konteks dan masalah kontekstual merupakan komponen yang penting dalam numerasi. Konteks bukanlah merupakan hal yang baru dalam kegiatan pembelajaran. Konteks memegang peranan yang penting dalam menjembatani murid untuk memahami suatu konsep. Dalam pembelajaran matematika misalnya, konteks berperan dalam membantu murid untuk memahami dan memperkuat suatu konsep matematika. Secara khusus, dalam pembelajaran matematika realistik konteks menjadi unsur penting dalam membangun pemahaman matematika murid. Konteks digunakan di awal pembelajaran untuk membangun pemahaman konsep matematika murid. Berikut ini adalah salah satu cara mengkonstruk konsep matematika murid dari masalah kontekstual.

https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/LitNum/1b/RME.jpg

 


Konsteks Numerasi

Masalah konteks mengacu pada situasi yang nyata bagi murid, situasi yang tidak hanya berasal dari kegiatan sehari-hari murid tetapi juga dari masalah matematika formal yang nyata dalam pikiran murid (Gravemeijer & Doorman, 1999). Konteks khusus di mana tugas matematika terletak mampu menentukan tidak hanya kinerja umum tetapi pilihan prosedur matematika (Lave, 1988). Selain itu, karena karakteristik matematika yang abstrak, konteks membantu murid untuk menghubungkan fenomena dunia nyata dengan penggunaan matematika abstrak (Boaler, 1993; Gravemeijer & Doorman, 1999).

Selanjutnya, ada keyakinan bahwa konteks sehari-hari lebih mudah daripada konteks yang abstrak (Boaler, 1993). Artinya dengan menggunakan matematika konteks sehari-hari dapat membantu murid belajar matematika lebih bermakna. Karena konteks sehari-hari berkaitan dengan kehidupan mereka dan situasi dunia nyata, yang lebih mudah dipahami. Ada hubungan  timbal  balik  antara  konteks  dan matematika dalam implementasinya. Murid diharapkan membantu murid untuk menghubungkan masalah konteks dan konsep matematika serta menerapkannya pada masalah atau tugas lain yang berbeda (Boaler, 1993). Menurut Boaler (1993), konteks memiliki dua peran utama. Pertama, konteks dapat membantu murid untuk menghubungkan situasi dunia nyata dan matematika mereka. Kedua, konteks berguna untuk memotivasi murid agar belajar matematika lebih menarik dan atraktif.

Penggunaan konteks atau masalah kontekstual yang bermakna tentu akan membantu murid untuk mengembangkan kemampuan numerasinya dengan baik. Guru sebaiknya banyak menghadirkan permasalahan-permasalahan kontektual untuk membantu murid memahami kebermanfaatan matematika dalam kehidupannya sehari-hari. Steen (2001) mengatakan bahwa mustahil seseorang dapat memahami matematika dengan baik jika ia tidak sendiri gagal dalam mengenal kebermanfaatan matematika dalam kehidupan sehari- hari.  Adapun cara lain untuk membuat murid mahir menggunakan matematika adalah dengan  memberikan permasalahan matematika sehari-hari setelah  murid  memahami matematika formal untuk menyelesaikan masalah dunia nyata. Penggunaan numerasi akan kentara saat menyelesaikan masalah dunia nyata yang komplek dan diselesaikan dengan pemodelan (matematika) seperti pada bagan di bawah ini. Jika murid tidak dikenalkan dengan masalah dunia nyata maka akan sulit mengenali matematika apa yang bisa digunakan untuk membantu menyelesaikannya.

Transfer dunia nyata ke matematika

Pada bagan di bawah ini murid disajikan permasalahan dunia nyata kemudian mentransfernya ke dalam bentuk matematika. Murid membuat asumsi, memformulasikan solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut hingga diperoleh solusi yang tepat. Tidak sampai di situ, murid kemudian mentrasfer kembali solusi tersebut sesuai dengan kenyataan dari permasalahan yang diberikan, memberikan kesimpulan sesuai dengan konteks awal yang disajikan. Solusi suatu masalah tidak hanya berupa bilangan akhir sebagai hasil perhitungan, tetapi harus disesuaikan kembali dengan konteks

https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/LitNum/1b/dunianyata.png

 

Intuisi Bilangan (Number Sense)

Salah komponen penting juga yang perlu dibahas terkait dengan numerasi adalah kepekaan terhadap bilangan atau yang dikenal dengan intuisi bilangan. Intuisi bilangan sejauh ini belum banyak menjadi perhatian dalam pembelajaran matematika di Indonesia. Kepekaan terhadap bilangan perlu untuk ditumbuhkan sejak dini kepada murid. Kepekaan terhadapa bilangan terkait dengan bagaimana murid memahami makna bilangan yang sesungguhnya. Murid memahami makna dari bilangan 5 misalnya dengan menggambarkannya dengan lima buah apel, lima buah jeruk, lima batang pensil dan sebagainya. Memiliki kepekaan terhadap bilangan akan membantu murid untuk mengembangkan kemampuan numerasinya.

Sebagai contoh juga ketika murid mampu memperkirakan atau mengestimasi nilai suatu bilangan dan ini banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya murid memperkirakan berapa uang yang harus dibawanya untuk berbelanja di sebuah toko tanpa harus terlebih dahulu menghitung dengan seksama harga barang-barang yang akan dibelinya. Karena dalam prakteknya di kehidupan sehari-hari terkadang perhitungan matematika yang presisi tidak benar-benar diperlukan dan hanya membutuhkan estimasi atau pembulatan. Konteks yang berbeda seringkali membutuhkan jawaban akhir yang berbeda dan di sinilah kemampuan estimasi perlu digunakan oleh murid.

Numerasi sangat penting dikembangkan di diri murid tidak hanya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan matematika dalam kehidupan sehari-hari tetapi diharapkan juga akan memberikan manfaat untuk aspek yang lebih luas seperti untuk bangsa dan negara. Murid atau warga yang numerat akan kritis menanggapi berita yang mengandung data ataupun fakta. Hal ini akan membantu pengurangan dampak penyebaran isu atau berita hoax.

Numerasi tidaklah sama dengan kompetensi matematika. Keduanya berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi perbedaannya terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pengetahuan matematika saja tidak membuat seseorang memiliki kemampuan numerasi. Numerasi mencakup keterampilan mengaplikasikan konsep dan kaidah matematika dalam situasi riil sehari-hari. Saat permasalahannya sering kali tidak terstruktur, memiliki banyak cara penyelesaian, atau bahkan tidak ada penyelesaian yang tuntas, serta berhubungan dengan faktor. 1. numerasi itu sebuah hal yang harus dituntaskan dengan akal dan logika yang sepadan dengan konteks yang dihadapi, selain itu pula pemecahannya adalah dengan cara berhitung. 2. sangat penting karena masa dewasa anak SMA sangat penting dalam hal menemukan hal pasti dalam kehidupannya melalui angka.

 

Modul 2 Implementasi Literasi dan Numerasi Dalam Pembelajaran

Perkembangan Proses Berpikir

Perkembangan otak memiliki hubungan dengan perkembangan murid, terutama dalam proses belajar. Hal ini dikarenakan perubahan pada struktur dan fungsi otak sejalan dengan bertambahnya usia murid, dimana untuk menilai perkembangan murid dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut merupakan perwujudan dari manifestasi kematangan pertumbuhan otak pada piramida perkembangan otak murid, yang menempatkan ketiga aspek tersebut berada di puncak piramida. murid tidak dapat mencapai pertumbuhan ketiga aspek tersebut jika kesembilan belas aspek di bawahnya tidak matang atau siap.

Ketidakmatangan atau ketidaksiapan dari kesembilan belas aspek akan mempengaruhi kesiapan murid untuk belajar. Sembilan belas aspek ini yang merupakan potensi dalam diri murid yang harus distimulasi untuk menjadi  kompetensi yang dapat digunakan oleh murid untuk proses belajar.   

https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/LitNum/1c/piramidoflearning.png


Perkembangan proses berpikir

murid dapat dikatakan siap belajar jika sudah memiliki kesembilan belas komponen yang berada di piramida perkembangan otak, dan 5 domain modal belajar, yaitu atensi, memori, visuospasial, literasi (bahasa), dan fungsi eksekutif. Kelima domain tersebut dapat siap jika murid mendapatkan proses pembelajaran melalui pengulangan yang akan menjadi kebiasaan yang dapat dimunculkan oleh murid. Bagian otak yang berfungsi pada proses pembelajaran ini adalah limbic system (emosi), yang dilakukan dengan memberikan kenyamanan rasa senang pada saat murid belajar yang juga akan merangsang perhatian murid pada sesuatu yang menyenangkan (atensi), dimana terlibat bagian-bagian otak depan (Frontal dan Prefrontal/keputusan), di samping (temporal/bahasa) bagian atas (paretal/sensori) dan bagian belakang (occipital/warna, bentuk) yang saling dihubungkan melalui proses pembelajaran yang diperkaya (asosiatif) untuk membangun suatu persepsi. 

https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/LitNum/1c/bagianotak.jpg

Dalam proses menuju kesiapan belajar, banyak bagian dan struktur otak yang berkembang, namun tidak hanya struktur otak saja yang berkembang alat indera sebagai penerima rangsang pertama pun harus matang. Karena alat indera merupakan pintu masuknya informasi dari lingkungan luar. Setelah informasi dari luar masuk akan diteruskan ke bagian otak sesuai dengan alat indera yang menerima informasi tersebut, lalu akan terjadi proses informasi di otak. Informasi yang telah diproses di otak setelah selesai diolah akan dikeluarkan sebagai output sesuai dengan fungsinya. 

Pada usia 0-6 tahun perkembangan bahasa yang lisan lebih diutamakan. Pengetahuan bahasa dilatihkan dalam komunikasi lisan. Saat murid dibacakan buku dengan cara yang tepat mulai dari pelafalan huruf, nada, tempo dan jeda, memberikan kesempatan murid untuk belajar pengetahuan bahasa pada kegiatan menyimak dan berbicara. Indikator bahwa murid pada usia tersebut perkembangan menyimak berjalan baik adalah sebagai berikut:

  1. murid mampu membedakan bunyi:

murid usia 0-2 tahun mampu mengenali suara orang yang dikenalnya. Bayi menangis serta merta tenang saat mendengar suara orang yang sering bersamanya. Perilaku ini memberikan informasi bahwa sejak dini murid mampu membedakan bunyi. 

  1. murid mampu mengenali komponen bahasa:

murid 2-4 tahun murid mulai ikut bernyanyi. Ia mengangguk-anggukan kepala atau menggoyang-goyangkan anggota badan sebagai respon dari lagu yang diminati. murid tertarik dengan dongeng dan mulai fokus saat dibacakan buku. Perilaku murid saat merespon lagu dan cerita menunjukkan ia mulai mengenali komponen bahasa yang paling dasar yaitu bunyi (fonem). murid mulai mencoba mengucapkan beberapa kata berupa potongan-potongan suku kata. Ia mulai merespon saat dipanggil namanya. Inilah tanda-tanda murid mengenali komponen bahasa. 

  1. murid menangkap isi tuturan lisan:

Pada saat orang tua berdialog dengan murid, tampak murid memberikan respon, misalnya dengan mengajukan pertanyaan,tersenyum, mengernyitkan dahi atau berlari meninggalkan pembicaraan. Semua respon yang dilakukan murid adalah tanda ia memahami tuturan lisan. Pada saat murid tersenyum menunjukkan ia setuju dengan pernyataan orang tua. Pada saat murid meninggalkan orang tua, ada beberapa kemungkinan, murid tidak menyukai topik yang dibicarakan, pilihan kosa kata yang tidak dipahami atau durasi terlalu panjang. Orang dewasa perlu bertanya dan melakukan pengamatan.

Pada usia 0-6 tahun kegiatan berbahasa teks sedang dalam persiapan, baik kegiatan berbahasa reseptif (membaca) dan kegiatan berbahasa produktif (menulis).

Untuk kegiatan membaca murid mulai dari menyebutkan nama-nama dari kegiatan multisensori. murid menyebutkan nama-nama benda yang dilihat, mengenali rasa dan aroma. Saat inilah kosa kata murid berkembang pesat.  Latihan ini akan berkembang ke teks dua dimensi (gambar). murid-murid mulai membandingkan benda yang pernah diindra dengan gambar. Saat itulah murid berkembang dari menyebut nama dan istilah ke persepsi gambar. Inilah proses membaca gambar yang merupakan proses pra membaca.

Pada saat usia 6-12 tahun perkembangan pengetahuan bahasa mulai berkembang dalam proses komunikasi baik komunikasi lisan maupun teks. murid-murid mulai memilih kata dan nada sesuai dengan tujuan pembicaraan. Pada saat membaca murid mulai menghubungkan apa yang dibaca dan apa yang dipikirkan. Inilah masa perubahan dari keterampilan kelisanan ke keterampilan teks.

Pada murid-murid yang tidak memiliki dasar keterampilan kelisanan yang kuat, memerlukan perjuangan yang bermakna. murid akan berupaya mencari makna dari bacaan. Perilaku yang tampak adalah murid banyak bertanya, kosa kata terbatas dan kesulitan menangkap informasi dari bahasa teks. Pada awal pembelajaran di Sekolah Dasar (SD) keterampilan kelisanan perlu dikuatkan dan diintegrasikan dengan berbagai tema dan ragam teks. murid perlu diberikan keterampilan membaca yang berupa keterampilan menghubungkan isi bacaan dengan dirinya, antar teks dan kondisi lingkungan sekitar. Pemberian bacaan yang bertahap dan beragam serta strategi yang kaya akan proses bertanya akan membantu murid berproses menjadi pembaca yang mandiri.

Pada usia 12 tahun ke atas proses perkembangan literasi terjadi perubahan. murid sudah mulai menggunakan dua kecakapan untuk mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhan. Informasi auditori, visual dan visual auditori dipahami lalu dituliskan dan dibicarakan.

Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di beberapa daerah terdapat beberapa praktik, mulai dari praktik baik sampai miskonsepsi praktik. Proses pelaksanaan program literasi di sekolah, dilaksmuridan sesuai dengan pemahaman SDM dan prasarana yang ada. Salah satu tanda sekolah telah melaksanakan program GLS adalah adanya pojok baca dan pohon literasi.

Beberapa sekolah menyusun program dengan melihat praktik baik yang ada di lembaga lain. Harapannya dengan meniru praktik baik yang ada GLS dapat berjalan sebagaimana yang terjadi pada satu sekolah. Fakta menunjukkan banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan program GLS di sekolah. Salah satu komponen yang sering luput saat perencanaan program adalah informasi profil perkembangan literasi murid siswa. Program yang tersusun baik ketika diterapkan tanpa memperhitungkan profil perkembangan tentu hasilnya tidak sesuai harapan.

Salah satu cara untuk mendapatkan profil perkembangan literasi siswa, kam telah melaksanakan dengan cara yang sederhana dan mudah berdasarkan perkembangan literasi murid dilihat dari tiga komponen yaitu: pengetahuan bahasa, keterampilan berbahasa dan perkembangan proses berpikir murid. Dari ketiga komponen tersebut dapat diperoleh data perkembangan literasi yang seharusnya dicapai oleh murid sesuai dengan usianya.

Untuk melaksanakan proses pemrofilan perkembangan literasi murid dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: kelompok kelas 1-3 SD, kelompok kelas 4-7 dan kelompok kelas 8-12. Cara pemrofilan ini dapat dilakukan oleh guru. Pada tingkat sekolah dasar proses pemrofilan bisa dilakukan oleh guru kelas. Untuk tingkat SMP dan SMA bisa dilakukan oleh wali kelas berkolaborasi dengan guru bahasa Indonesia. Untuk kelas 8-12 sebaiknya dilengkapi dengan tes UKBI yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa. Hasil untuk murid SMP adalah pada predikat semenjana dan level SMA pada predikat madya sesuai dengan aturan pemerintah. 

Proses Pemrofilan Perkembangan Literasi

  1. Proses pemrofilan literasi kelas 1-3

Cara  Pemrofilan:

 - Sediakan 3 topik yang dekat dengan murid; kegemaran, makanan kesukaan, tempat yang berkesan.

- Minta murid untuk memilih salah satu topik.

- Ketika murid sudah memilih satu topik, berikan kesempatan murid bercerita selama satu menit.

- Siapkan alat perekam dan pencatat waktu 

 Sasaran Observasi:

- Unsur pengetahuan bahasa : pilihan kata, kalimat.

- Unsur keterampilan berbahasa: keterampilan  berbicara  dilihat dari  nada, tempo, dan jeda. 

2. Proses pemrofilan literasi kelas 4-7

Cara  Pemrofilan:

- Sediakan 3 topik yang dekat dengan murid; kegemaran, makanan kesukaan, tempat yang berkesan.

- Minta murid untuk memilih salah satu topik.   

- Siapkan alat pencatat waktu

Ketika murid sudah memilih satu topik, berikan kesempatan murid menulis selama 5 menit.

Sasaran Observasi:

- Unsur pengetahuan bahasa : pilihan kata, kalimat.

- Unsur keterampilan berbahasa: menulis dilihat dari aturan bahasa tulis yaitu penggunaan tanda baca  dan huruf kapital.

3. Proses Pemrofilan kelas 8-12

Cara  Pemrofilan:

- Sediakan 5 topik yang dekat dengan murid; kegemaran, makanan kesukaan, tempat yang berkesan, peminatan, buku/film yang paling berkesan.

- Minta murid untuk memilih suatu topik.

- Siapkan alat pencatat waktu.

- Ketika murid sudah memilih satu topik, berikan kesempatan murid menulis selama 3 menit.

 Sasaran Observasi:

Unsur pengetahuan bahasa: pilihan kata, kalimat, paragraf, tata bahasa.

Unsur keterampilan berbahasa: menulis dilihat dari penggunaan tanda baca, penggunaan huruf kapital dan keruntutan kalimat dalam paragraf.  

Proses Analisis Hasil Pemrofilan

1. Profil kelas 1-3

Cara membaca data: 

- Dengarkan rekaman.

- Siapkan instrumen observasi.

- Kata : Kata: pilihan kata sesuai topik; kalimat tampak pada jeda; nada menunjukkan jenis kalimat dan tempo untuk kejelasan informasi.

- Rentang nilai 1= kurang sesuai; 2=sesuai; 3=sangat sesuai

2. Profil kelas 4-7

Cara membaca data:

- Bacalah hasil tulisan murid.

Siapkan insrumen observasi.

Kata: pilihan kata konsep-kata tugas; kalimat: diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik; tanda baca lain sesuai kebutuhan (koma, tanda tanya).

Rentang nilai 1= kurang sesuai; 2=sesuai; 3=sangat sesuai. 

3. Profil kelas 8-12

Cara membaca data: 

- Bacalah hasil tulisan murid.

- Siapkan instrumen observasi.

- Kata: pilihan kata konsep-kata tugas; kalimat: terdapat unsur subyek dan predikat; tanda baca lain sesuai kebutuhan (koma, tanda tanya, tanda seru, tanda kutip).

Rentang nilai 1= kurang sesuai; 2=sesuai; 3=sangat sesuai.

 

Konsep Miskonsepsi Implementasi Literasi dalam Pembelajaran

Halo, Sahabat Guru Belajar!

Masalah implementasi literasi dalam pembelajaran masih sering menjadi bahan keraguan, perbedaaan, bahkan perdebatan di kalangan guru dan tenaga kependidikan. Mengacu pada perspektif literasi yang telah dibahas di Modul 1, mari kita renungkan kembali beberapa anggapan keliru yang masih umum terdapat dalam implementasi pembelajaran, yaitu:

  1. Literasi harus diajarkan secara terpisah.

  2. Pembinaan keterampilan terkait bacaan dan praktik berbudaya yang yang menjadi ciri penguasaan literasi cukup hanya dengan mewajibkan peserta didik membaca 15 menit dalam sehari.

  3. Literasi hanya terkait dengan pelajaran Bahasa Indonesia (literasi membaca), pelajaran Matematika (literasi numerasi), dan pelajaran IPA (literasi sains) saja.

  4. Semakin banyak konsep pengetahuan yang diberikan pada peserta didik akan menjamin tercapainya tuntutan penguasaan literasi.

Untuk jenjang SMP, pembinaan literasi sebenarnya telah didorong salah satunya dengan rekomendasi penerapan model-model pembelajaran Problem Based Learning dan Project Based Learning dalam Kurikulum Nasional. Jadi, dalam pembelajaran di Indonesia seharusnya tidak ada perbedaan, apalagi pertentangan, antara pengembangan kompetensi dalam kurikulum yang sedang diberlakukan dengan implementasi pengembangan literasi. Hal yang harus menjadi penekanan dalam pengembangan literasi adalah selalu mengaitkan tuntutan kompetensi dengan hal-hal kontekstual yang sesuai dengan usia dan kebutuhan peserta didik dalam kehidupannya.

 

Strategi Implementasi Literasi dalam Pembelajaran di SD

Bapak Ibu Guru implementasi  pembelajaran  kecakapan  literasi pada  peserta didik di jenjang sekolah dasar, dipastikan memberi pengaruh pada tingkatan penguasaan dan keberhasilan kecakapan literasi di jenjang berikutnya. Oleh karena itu peran dan keterampilan  guru di jenjang sekolah dasar sangat penting dalam melatih dan menumbuhkembangkan kecakapan literasi.

Pembelajaran berbasis kecakapan harus dilakukan secara konsisten. Apalagi di jenjang sekolah dasar. Karena kecakapan literasi bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, namun  juga dapat mengasah daya nalar dan sikap kritis siswa yang berguna untuk semua mata pelajaran. 

Berikut 5 (Lima) strategi untuk pemahaman bacaan yang diambil dari buku “ Strategies that Work” karya Stephanie Harvey dan Anne Gouvis:

  1. Membuat Hubungan 
    • Teks dengan Diri
    • Teks dengan Teks lain
    • Teks dengan Dunia luar
  2. Mengajukan pertanyaan
    • Sebelum Membaca
    • Saat sedang Membaca
    • Sesudah Membaca
  3. Membuat Visualisasi
    • Membuat gambar dari teks yang dibaca
  4. Mencari yang Tersirat (Inferensi)
    • Menyimpulkan dari fakta-fakta yang ada dalam sebuah teks menjadi sebuah pernyataan baru.
  5. Menentukan yang penting
    • Mencari poin-poin penting dari sebuah teks.
    • Dibuatkan Teks baru
    • Diwujudkan dalam Peta Konsep/skema hal-hal penting teks tersebut atau pokok dan pendukung

Dari Lima strategi tersebut, mari kita pelajari lebih lanjut strategi yang pertama yakni menghubungkan teks. Apa itu menghubungkan teks dan bagaimana implementasinya.

Berikut ini adalah 5 (lima) strategi untuk pemahaman bacaan yang diambilkan dari buku “Strategies that Work” karya Stephanie Harvey dan Anne Goudvis (2000).

  1. Membuat Hubungan; yaitu “membuat jembatan” antara pengetahuan baru dengan yang telah diketahui. Ada tiga bentuk membuat hubungan dengan teks yang dapat dibangun, yaitu antara teks dengan diri, teks dengan teks dan teks dengan dunia.
  2. Mengajukan Pertanyaan; yaitu mengajukan pertanyaan sebelum, selama, dan setelah membaca untuk membentuk pengertian, meningkatkan pemahaman, menjelaskan kebingungan, memecahkan masalah, mendapatkan sekumpulan informasi, informasi baru, maupun informasi khusus, hingga mendorong usaha-usaha penelitian. 
  3. Membuat Visualisasi; yaitu berhenti sejenak untuk memikirkan dan memvisualisasikan isi teks yang dibaca untuk membantu menciptakan citra secara mental dari bentuk kata-kata, memperkuat hubungan antara pembaca dengan teks, menempatkan pembaca di posisi dalam teks, serta meningkatkan antusiasme untuk membaca.
  4. Mencari yang Tersirat (Inferensi); yaitu Pemikiran berdasarkan inferensi terjadi ketika petunjuk-petunjuk dalam teks digabungkan dengan pengetahuan pembaca dan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada sebuah kesimpulan mengenai sebuah tema atau gagasan yang tersirat dalam teks.
  5. Menentukan Hal yang Penting; yaitu menentukan gagasan pokok dalam suatu teks yang otentik dari sebuah karya fiksi (sastra) maupun non fiksi (naskah ilmiah, sejarah, biografi, editorial surat kabar, hingga buku perdagangan), untuk meringkas serta menarik kesimpulan dari berbagai bacaan tersebut, mempelajari informasi baru dan membangun pengetahuan latar, membedakan antara tema, pendapat dan sudut pandang, serta menentukan maksud atau pesan penulis teks (memberikan informasi, membujuk, atau menghibur).

Application

Tujuan utama pembelajaran literasi membaca adalah agar peserta didik mampu memperoleh pemahaman yang mendalam dari informasi yang didapatkan. Pembelajaran literasi membaca ditekankan pada aktivitas peserta didik, agar peserta didik mampu:

  1. Menganalisis isi teks baik secara eksplisit maupun implisit
  2. Menggambarkan inferensi analitis atas teks
  3. Mengkritisi teks melalui penggunaan logika berpikir yang benar, serta ditunjang oleh fakta-fakta yang lengkap baik dari dalam teks maupun luar teks.
  4. Memproduksi secara kreatif pemahamannya melalui berbagai media representasional yang bersifat multimoda, multi genre, multimedia, dan multibudaya

Untuk mencapai tujuan pembelajaran literasi membaca, proses pembelajaran setidaknya harus melewati tiga tahapan kegiatan (Abidin dalam Vacca, 2015). Ketiga tahapan itu adalah aktivitas prabaca, aktivitas membaca, dan aktivitas pascabaca.

1. Aktivitas Prabaca

Guru harus mampu mengarahkan peserta didik pada topik pembelajaran yang akan dipelajari peserta didik. Terkait asumsi dasar ini, aktivitas prabaca adalah kegiatan pengajaran yang dilaksanakan sebelum peserta didik melakukan kegiatan membaca.

Beberapa aktivitas prabaca yang dapat dilakukan guru sebagai berikut:

  1. Memilih atau menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membaca
  2. Memilih teks yang dibutuhkan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran
  3. Menyusun pertanyaan pemandu yang terkait dengan teks
  4. Membangkitkan pengetahuan awal yang berhubungan dengan topik teks
  5. Mengarahkan peserta didik untuk membuat pertanyaan dan prediksi baik yang berkenaan dengan topik ataupun topik secara umum.

2. Aktivitas Membaca

Setelah aktivitas prabaca, dilanjutkan dengan kegiatan inti yaitu membaca. Dalam pandangan pendekatan respons pembaca, aktivitas membaca yang dilakukan berfokus pada upaya mendapatkan pemahaman secara literal, inferensial, maupun kritis. Hal ini juga dikorelasikan dengan 3 strategi pembelajaran yaitu: memorisation strategies, elaboration strategies dan control strategies. Oleh karena ragam aktivitas membaca lebih banyak berkaitan dengan upaya menganalisis, membandingkan, dan mengkritik teks.

Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan guru dalam aktivitas membaca ini sebagai berikut:

  1. Memfasilitasi peserta didik untuk membaca, menganalisis, dan mengutip teks untuk tujuan tertentu, sambil membangun pemahaman dalam membaca.
  2. Mendorong peserta didik untuk menghubungkan skematanya (baik berupa pengalaman, pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya), teks lain yang pernah dibaca, serta konteks kehidupan dengan teks yang sedang dibaca.
  3. Memfasilitasi peserta didik untuk menjawab pertanyaan yang dibuat (menguji prediksi) dan/atau melakukan kegiatan lain yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
  4. Mendorong terciptanya percakapan dan pengalaman yang kaya dan terikat teks untuk mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.
  5. Mendorong peserta didik untuk mengkomunikasikan dengan peserta didik lain terkait hasil kajian dan respons yang dibuatnya.
  6. Memfasilitasi peserta didik untuk menganalisis tujuan penulisan teks, mengevaluasi argumen dan bukti-bukti yang dibuat penulis, serta menemukan makna mendalam dari sebuah teks. proses ini bisa dilakukan melalui kerja kooperatif ataupun kolaboratif.

3. Aktivitas Pascabaca

Aktivitas pascabaca merupakan tahapan pembelajaran literasi yang menguji sekaligus memantapkan kemampuan berpikir kritis. Pada dasarnya tahap ini adalah tahapan yang dilakukan untuk merespons, mengeksplorasi, merefleksi, dan mengevaluasi teks yang telah dibaca. Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dalam tahap pascabaca antara lain:

  1. Merespon teks menjadi sebuah proyek atau produk lain yang menggambarkan kemampuannya menemukan intisari informasi.
  2. Menganalisis opini dan fakta yang terkandung dalam teks.
  3. Mengevaluasi teks berdasarkan pengetahuan awal  atau informasi dari berbagai sumber lain.
  4. Mengembangkan dan mendukung intisari yang dibuatnya dengan bukti-bukti yang terdapat dalam teks.
  5. Peserta didik juga bisa membuat informasi baru yang berhubungan dengan informasi yang terkandung dalam teks, berdasarkan hasil pemahaman baru yang diperolehnya.
  6. Menilai kebaruan informasi teks (up to date) yang telah dibaca dan objektivitas informasi dalam teks yang dibaca (tidak bias, bukan hoak)

Perpustakaan Sekolah, media internet dan sarana literasi lainnya harus dioptimalkan dengan baik. Supaya kegiatan Literasi meninggalkan jejak literasi maka seluruh tahapan membaca harus ada dalam kegiatan Literasi. Penggunaan graphic organizer dalam kegiatan literasi cukup efektif untuk diterapkan oleh guru supaya dapat mengetahui perkembangan kemampuan Literasi peserta didik, maka dari itu diperlukan kolaborasi yang baik antara Kepala Sekolah dan guru.

Modul 3

Sebagai mana kita ketahui bahwa perkembangan literasi dan numerasi bagi peserta didik Indonesia lima belas tahun terakhir ini mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan. Hasil tes PISA belum dapat menunjukkan perkembangan yang sesuai harapan. Gerakan Literasi Sekolah (GLS)  sudah diprogramkan dan diberikan berbagai pelatihan. Dari praktik penerapan program GLS masing-masing daerah memiliki tafsir yang beragam. Penafsiran ini berdampak pada pelaksanaan program literasi di sekolah.

Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan partisipasi aktif di sekolah, keluarga dan masyarakat, guru perlu mengobservasi untuk memverifikasi program literasi dan numerasi yang sesuai di sekolah, keluarga dan masyarakat. Setelah menyelesaikan modul 3 ini diharapkan peserta dapat: 

  1. memperoleh gambaran miskonsepsi praktik baik yang dilaksanakan di sekolah, keluarga dan masyarakat, 
  2. memahami konsep praktik literasi dan numerasi yang sebenarnya di sekolah, keluarga dan masyarakat dan 
  3. dapat menganalisis studi kasus literasi dan numerasi di sekolah, keluarga dan masyarakat.

Rencana Aksi Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah (1)

Pada rencana aksi literasi dan numerasi di sekolah, tidak hanya dapat terlihat pada mata pelajaran matematika saja, tetapi juga dapat teraktualisasi pada mata pelajaran lain.

1. Gerakan literasi numerasi lintas kurikulum (Numeracy Across Curriculum)

Gerakan literasi numerasi lintas kurikulum (Numeracy Across Curriculum), yaitu pendekatan penerapan numerasi secara konsisten dan menyeluruh di sekolah yang sangat mendukung pengembangan literasi dan numerasi bagi setiap peserta didik. Literasi dan numerasi lintas kurikulum ini memperkaya pembelajaran mata pelajaran lain dan memberikan kontribusi dalam memperluas pemahaman numerasi. Implementasi ini tidak hanya oleh guru, melainkan juga oleh tenaga kependidikan yang sama-sama memajukan literasi dan numerasi di sekolah, misalnya membuat anggaran untuk kegiatan sekolah yang sudah dilaksanakan secara rutin.

Rencana Aksi Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah (2)

2. Pelatihan Kepala Perpustakaan, Tenaga Perpustakaan, Guru Kelas atau Wali Kelas

Melatih kepala perpustakaan dan tenaga perpustakaan untuk dapat menampilkan informasi mengenai jumlah peminjam buku (contoh: berdasarkan genre, gender, dan sebagainya) setiap bulannya dengan menggunakan diagram lingkaran, tabel, dan grafik, membuat jadwal wajib kunjung perpustakaan.

Melatih guru kelas untuk jenjang SD dan wali kelas untuk jenjang SMP, SMA dan SMK dalam mendata pelaksanaan pembiasaan membaca dan menulis peserta didik di dalam kelas dan di luar kelas (sesuai Butir Kinerja Inti No. 16 pada IASP 2020), pembuatan jurnal peserta didik yang menjembatani peserta didik dalam membuat buku.

Rencana Aksi Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah (3)

3. Meningkatkan sarana prasarana dan perluasan akses pengembangan Literasi dan Numerasi. 

Antara lain : - Menyediakan buku-buku fiksi, non fiksi maupun referensi - Memperluas dalam pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai media pembelajaran numerasi - Memfasilitasi pojok baca di setiap kelas dapat terlihat seperti - Membuat pohon literasi di setiap kelas - Papan karya literasi dan numerasi di kelas atau di depan sekolah - Menumbuhkembangkan kemandirian pada Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada masa pandemi Covid-19 ini, yaitu dengan membaca nyaring - Memamerkan hasil karya proyek peserta didik - portofolio peserta didik dapat dipajang di kelas - Melaksanakan duta literasi sekolah.

Rencana Aksi Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah (4)

4. Pembentukan tim literasi sekolah 

Pembentukan tim literasi sekolah dengan melibatkan kepala sekolah, pengawas, guru, dan wakil orang tua peserta didik serta pengalokasian dana untuk pengembangan literasi dan numerasi sesuai RKAS.

 * Rencana Aksi Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah :

1.      - Gerakan literasi numerasi lintas kurikulum (Numeracy Across Curriculum)

2.      - Pelatihan Kepala Perpustakaan, Tenaga Perpustakaan, Guru Kelas atau Wali Kelas

- Meningkatkan sarana prasarana dan perluasan akses pengembangan Literasi dan Numerasi

4.     - Pembentukan tim literasi sekolah dengan melibatkan kepala sekolah, pengawas, guru, dan wakil orang tua peserta didik serta pengalokasian dana untuk pengembangan literasi dan numerasi sesuai RKAS.

Referensi

Abidin, Tita dan Hana (2017) Pembelajaran Literasi Strategi Meningkatkan Kemampuan Matematika, Sains, Membaca dan Menulis. Jakarta: Bumi Aksara

Dirjen GTK Kemdikbud. (2017). Bahan Belajar Model Kompetensi Kepala Sekolah pada Level Berkembang. Jakarta: Kemdikbud

Dirjen GTK Kemdikbud. (2017). Materi Pendukung Literasi Numerasi. Jakarta:Kemdikbud

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo. (2009). Praktik Baik  Pembelajaran Numerasi di Kabupaten  Sidoarjo. Jawa Timur: Program Inovasi  untuk peserta didik Sekolah Indonesia (INOVASI) di Jawa Timur Bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo.

Kern, R.( 2000). Literacy and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Surat Kabar Guru Belajar “Bangun Budaya Literasi di Sekolah” oleh Wahyuniar - SMPN 4 Pinrang.

Surat Kabar Guru Belajar “Mengenal Pecahan dalam Kehidupan” oleh Li’lli Nur Indah Sari

Internet :

http://www.darmanreubee.com/2015/11/apa-kabar-dunia-pendidikan-kita.html

https://www.kosngosan.com/2019/05/contoh-pohon-literasi-sd-smp-sma.html

https://sintiyaelfariani.blogspot.com/2018/04/contoh-makalah-laporan-hasil-budi-daya.html

https://www.panduanmengajar.com/2019/04/contoh-sk-tim-literasi-sekolah.html

 

Modul 3 Literasi Dan Numerasi Di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat

Pemahaman Konsep Literasi dan Numerasi Keluarga

Literasi dan numerasi adalah sebuah konsep penting yang saat ini dibutuhkan untuk salah satunya peningkatan sumber daya manusia Indonesia. Dalam konteks saat ini, literasi dan numerasi mencakup tidak hanya kemampuan membaca, menulis dan juga berhitung. Namun, literasi dan numerasi dimaknai sebagai kecakapan hidup yang mencakup banyak aspek kehidupan manusia. Salah satu indikator yang dipergunakan dalam mengukur negara maju adalah dengan melihat tingkat literasi dan juga kehidupan masyarakatnya. Agar dapat berdiri sejajar dengan negara-negara maju, perlu adanya upaya serius dalam meningkatkan literasi dan numerasi bangsa demi menyokong tercapainya kecerdasan kolektif masyarakat Indonesia (Idrus, Tamrin, & Ramli, 2020).

Terlebih dalam persaingan konteks global khususnya di bidang pendidikan, literasi dan numerasi dipandang sebagai kebutuhan yang urgen dikuasai oleh semua pemangku kepentingan, termasuk di antaranya pemangku kepentingan internal seperti guru, siswa, orang tua, dan ekosistem sekolah. Namun kenyataannya, masih terjadi banyaknya miskonsepsi yang terjadi di kalangan masyarakat luas. Secara praktis, miskonsepsi terjadi disebabkan oleh pemahaman yang berbeda dengan konsep ilmiah yang baku. Miskonsepsi terjadi ketika seseorang yang tidak menganut konsep ilmiah yang diakui oleh para ahli. Selanjutnya miskonsepsi menyangkut penyimpangan dari sesuatu yang benar, sistematis, konsisten atau insidental dalam situasi tertentu. Secara khusus, kesalahpahaman muncul ketika seseorang memiliki pemahaman yang berbeda tentang konsep ini dan berbeda dengan pemahaman yang berlaku secara umum dalam komunitas ilmiah (Kose, 2008; Suparno, 2013; Wafiyah, 2012).

Miskonsepsi terjadi disebabkan belum paripurnanya pemahaman mengenai literasi dan numerasi itu sendiri. Setiap konsep saling mempunyai keterlibatan antara yang satu dengan yang lainnya. Semisal jika pemahaman mengenai konsep literasi dan numerasi sudah berada dalam pemahaman yang utuh, dengan demikian para pemangku kepentinganbisa melanjutkan dan memahami konsep literasi dan numerasi berikutnya.

Namun sebaliknya, kesalahan pemahaman di dalam sebuah konsep dapat mengakibatkan kesalaham pemahaman konsep-konsep berikutnya. Sayangnya, miskonsepsi inipun terjadi di dalam literasi dan numerasi dan tidak hanya terjadi di lingkungan berskala besar namun juga terjadi di lingkungan kecil, dalam hal ini keluarga.

Konsep Sebenarnya: Praktik Baik Literasi & Numerasi Di Lingkungan Keluarga

Literasi dan numerasi dapat dimaknai sebagai kemampuan menalar yang berkait dengan kemampuan analisa, sintesa dan evaluasi informasi yang bisa ditumbuhkan dengan terintegrasi dalam kegiatan anak sehari-hari di rumah. Literasi dan numerasi juga perlu dimaknai sebagai pemahaman terhadap berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari. Selain itu, literasi dan numerasi juga terkait dengan kemampuan menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk seperti grafik, tabel, bagan, dan lain sebagainya lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan. Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (Kemendikbudristek, 2021; literasinusantara.com, 2021).

Berpijak kepada miskonsepsi yang telah dijabarkan di atas, sebenarnya keluarga juga memiliki peran dalam meningkatkan literasi dan numerasi siswa. Selain belajar di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga pun menjadi salah satu landasan pembelajaran siswa. Literasi dan numerasi tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, namun juga keluarga. Salah satunya dilandaskan kepada perhitungan waktu total dalam satu hari. Jika dihitung sehari ada 24 jam dan maksimal 8 jam siswa menghabiskan waktu di sekolah, maka sebenarnya sebagian waktu terbesar siswa dihabiskan di lingkungan keluarga.

Praktik Baik Literasi dari pemerintah

Menyikapi hasil studi PISA 2018, Mendikbud Nadiem Makarim meminta semua pihak untuk  menjadikan data ini sebagai acuan perbaikan kualitas pendidikan. Pada acara serah terima hasil studi PISA tanggal 3 Desember 2019 lalu, Mendikbud mengingatkan pentingnya masukan dari  luar. “Kita tidak mungkin mengetahui apa yang harus diperbaiki, apa yang harus kita lanjutkan, kalau kita tidak mendapat perspektif dari luar, apakah itu dari luar sekolah kita, luar kelembagaan kita, baik luar negara kita,”. 

Lebih lanjut Mendikbud menyampaikan “Terkait hasil studi PISA 2018 yang mengalami penurunan dari tahun 2015, Mendikbud berpesan untuk tetap bersikap terbuka dan tidak bersembunyi di balik alasan. “Tidak perlu dikemas agar menjadi berita yang positif. Tidak perlu. Kita harus punya paradigma baru dimana semua pemimpin mulai dari kementerian sampai kepala sekolah, kalau ada sesuatu yang buruk, kita harus jujur dan langsung meng-address dan bergerak.” (Mendikbud Nadiem  Makarim, Kemdikbud.go.id).

Melihat hasil studi PISA ini, tak sedikit yang mempertanyakan peran pemerintah dalam menangani masalah pendidikan. Banyak pula yang menanyakan sejauh mana usaha pemerintah Indonesia dalam mengembangkan budaya membaca rakyat Indonesia. Beberapa upaya pemerintah dalam membangun budaya membaca. Telah dilakukan setidaknya pemerintah telah menerbitkan sedikitnya tujuh payung hukum yang terkait dengan literasi, diantaranya:

1. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Pasal 4 Ayat 5

2. Undang-undang nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Pasal 48 Ayat 1

3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Sistem Perbukuan Pasal 1 dan 36

4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan UU No. 43 Tahun 2007 Tentang 

    Perpustakaan Pasal 74

5. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti bagian VI.

6. Standar Nasional Perpustakaan Nasional Tahun 2017

7. Panduan Gerakan Literasi Nasional Tahun 2017

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Budaya membaca, menulis dan berhitung selanjutnya disebut literasi yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Sistem Perbukuan. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam pembukaan undang-undang perbukuan ini juga digambarkan bahwa peradaban bangsa dapat dibangun dengan mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, informasi, dan/atau hiburan melalui buku yang memuat nilai-nilai dan jati diri bangsa Indonesia. Hal itu, merupakan upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui pasal ini, pemerintah secara tegas ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa membaca adalah tolak ukur kualitas pendidikan, kawah candradimuka peradaban umat manusia.

Secara lebih terperinci, pemerintah kembali menegaskan pentingya membangun budaya membaca dalam Undang-Undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007 Pasal 48 Tentang Pembudayaan Kegemaran Membaca. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa pembudayaan membaca dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Pembudayaan kegemaran  membaca di keluarga pun pemerintah tetap turun tangan dengan memfasilitasi buku murah dan berkualitas, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 2.

Pembudayaan kegemaran membaca dalam keluarga melalui fasilitas buku murah dari pemerintah sudah bisa dirasakan sejak tahun 2008 silam. Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah secara bertahap telah membeli hak cipta (Copy Right) penulis buku teks pelajaran dari mulai tingkat SD sampai tingkat SLTA. Setelah membeli dan memeriksa isi, pemerintah selanjutnya mengunggah soft file buku tersebut di website kemendikbud. Masyarakat boleh mencetak, menggandakan, dan memperjualbelikan dengan catatan harus sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi yang tercantum di cover belakang buku. Namun, sangat disayangkan, usaha pemerintah dalam memfasilitasi pemberdayaan membaca melalui buku murah dan berkualitas baru sebatas pada buku-buku teks pelajaran. Buku-buku non-teks seperti karya umum, sastra, fiksi dan lainnya masih belum sepenuhnya terlihat dukungan dari pemerintah. Padahal, buku-buku semacam itulah yang paling dibutuhkan untuk membangun budaya baca masyarakat. Akibatnya, harga buku-buku berkualitas akan selalu mahal dan memberatkan bagi sebagian masyarakat yang ingin membeli. Meskipun undang-undang sistem perbukuan telah diberlakukan, harga buku umum masih cukup mahal. Mahalnya harga buku dikarenakan biaya produksi buku yang juga mahal.

Sedangkan pembudayaan membaca oleh satuan pendidikan dilakukan melalui pemberdayaan perpustakaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 yang berbunyi Pembudayaan kegemaran membaca pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai proses pembelajaran. Pemerintah telah menempatkan perpustakaan sekolah sebagai garda terdepan dalam membangun budaya membaca dan aspek esensial suksesnya proses belajar mengajar. Dalam Standar Nasional Perpustakaan Tahun 2017, perpustakaan sekolah berfungsi sebagai pusat sumber belajar guru dan siswa, pusat kegiatan literasi informasi, pusat penelitian, pusat kegiatan baca membaca, dan tempat kegiatan kreatif, imajinatif, inspiratif dan menyenangkan. Lebih jauh lagi, pemerintah mendorong pembudayaan kegemaran membaca melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Pada Pasal 74 Tentang Penghargaan Pembudayaan Kegemaran Membaca ayat 1, disebutkan bahwa kegemaran membaca dilakukan melalui: gerakan nasional gemar membaca, penyediaan buku murah dan berkualitas, pengembangan dan pemanfaatan perpustakaan sebagai proses pembelajaran.

Gerakan nasional gemar membaca yang diamanatkan PP Nomor 24 Tahun 2014 ini diperkuat lagi dengan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dalam Bagian IV Tentang Mengembangkan Potensi Peserta Didik secara utuh, sekolah hendaknya memfasilitasi secara optimal agar siswa bisa menemukenali dan mengembangkan potensinya. Untuk mencapai tujuan ini sekolah wajib menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari). Teknis pelaksanaan program gerakan nasional gemar membaca selanjutnya diatur melalui Kemendikbud dengan menerbitkan petunjuk teknis Gerakan Literasi Nasional (GLN) 2017. Setelah GLN, Kemendikbud menerbitkan petunjuk teknis Gerakan Literasi Keluarga (GLK), Gerakan Literasi Sekolah (GLS), dan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM). Dalam setiap Juknis terdiri atas Modul/Bahan Bacaan (e-book dan bisa diunduh), Praktik Baik, dan Data.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa: 1). Pemerintah telah serius dalam membangun budaya literasi Indonesia. 2). Pemerintah belum maksimal mengawal berbagai regulasi terkait gerakan literasi bangsa ini. Padahal, pemerintah berhak menjatuhkan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku terhadap instansi yang tidak melaksanakan program pemerintah ini. 3). Pemerintah membutuhkan peran serta para pemangku kebijakan, pegiat literasi dan masyarakat umum untuk berkolaborasi mensukseskan program mencerdaskan kehidupan bangsa ini. 

 

Mari Kita Sukseskan Program Literasi dan Numerasi serta wujudkan Merdeka Belajar!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Opening Ceremony Kelas Belajar Menulis Nusantara PGRI Gelombang 31

  Poto Dok. Sigid PN Tidak terasa Kelas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) PGRI sudah memasuki Gelombang 31. Untuk acara Opening Ceremony KBMN...