Dinamika Penerapan
Praktik Ideal Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup di Masyarakat.
1) Periode Orde Lama
a) Periode 1945 – 1950
Penerapan Pancasila selama periode ini dapat disimpulkan sebagai
berikut.
· Penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
menghadapi berbagai masalah, antara lain adanya upaya-upaya untuk mengganti
Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa. Adanya gerakan-gerakan pemberontakan
yang tujuannya mengganti Pancasila dengan ideologi lain antara lain : Pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI) di Madiun yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 bertujuan mendirikan Negara Soviet Indonesia berideologi
komunis. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dipimpin
Kartosuwiryo dengan tujuan didirikannya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949. Kedua
pemberontakan tersebut pada akhirnya bisa digagalkan.
· Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika
menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya
di negara Indonesia. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang
mengutamakan musyawarah mufakat tidak dapat dilaksanakan dikarenakan sistem pemerintahan parlementer
yang mengakibatkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.
b) Periode 1950 – 1959
Pada periode ini dapat disimpulkan penerapan Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa sebagai berikut :
· Penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
bangsa lebih diarahkan seperti pada ideologi liberal yang ternyata
tidak menjamin stabilitas pemerintahan. Hal tersebut dapat
dilihat dalam penerapan sila keempat yang tidak lagi berjiwakan
musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting).
· Persatuan dan kesatuan bangsa mendapat tantangan dengan munculnya
pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan
Rakyat Semesta (Permesta) yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan
lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 tetapi anggota konstituante hasil
pemilu tidak dapat melaksanakan tugasnya yakni menyusun undang-undang dasar seperti yang diharapkan.
Penyebabnya adalah sikap mementingkan golongan atau partai politik dari anggota konstituante. Hal ini menimbulkan
krisis politik, ekonomi dan keamanan yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959.
c) Periode 1956 -1965
Pada periode ini penerapan Pancasila sebagai dasar Negara dan
pandangan hidup bangsa dapat disimpulkan sebagai berikut :
· Tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin Manifesto
Politik/Undang-Undang Dasar, Sosialis dan Demokrasi (USDEK) merupakan pelanggaran dari nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Secara faktual, PKI telah berkali-kali
mengkhianati Pancasila. Pemberontakan PKI Muso 1948 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965
merupakan fakta sejarah yang tidak mungkin dihapus dan dilupakan.
· Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang
kekuasaan legislatif (bersama-sama dengan DPRGR) telah menggunakan kekuasaan dengan
tidak semestinya. Penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 terus berlangsung.
Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1 963 tentang pengangkatan presiden seumur hidup jelas bertentangan secara
normatif.
· Dilaksanakannya politik luar negeri yang bebas aktif menjadi "politik
poros-porosan" (Poros Jakarta-Peking) yang pada akhirnya
mengakibatkan negara Indonesia keluar dari Persatuan Bangsa Bangsa. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu
tahun 1955 dibubarkan oleh presiden. Hak budget Dewan Perwakilan Rakyat
tidak lagi berjalan setelah tahun 1960.
2) Periode Orde Baru 1966-1998
Penerapan Pancasila pada masa Orde Baru dapatdisimpulkan secara
substantif tidak ada perubahan dari kehidupan politik Indonesia. Antara
Orde Lama dan Orde baru sebenarnya sama saja otoriter. Dalam perjalanan politik pemerintahan Orde Baru,
kekuasaan Presiden merupakan pusat dari seluruh proses politik di
Indonesia. Demokrasi Pancasila tidak berjalan, dan pelanggaran
hak asasi manusia terjadi dimana-mana yang dilakukan aparat pemerintah atau negara. Pada akhirnya pelaksanaan
nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanya dijadikan alat politik
penguasa belaka. Hal tersebut dibuktikan terjadinya peristiwa-peristiwa di masyarakat antara
lain:
a.
Semaraknya korupsi, kolusi,
nepotisme di kalangan pejabat pemerintahan;
b. Pembangunan Indonesia tidak
merata dan timbul kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian karena kekayaan
daerah sebagian besar disedot ke pusat;
c.
Munculnya ketidakpuasan
diakibatkan kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua;
d. Kecemburuan sosial antara
penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah cukup besar.
Kesenjangan sosial yang sangat dalam antara si kaya dan si miskin. Pelanggaran hak asasi manusia kepada masyarakat non pribumi terutama masyarakat Tionghoa;
e. Dibatasinya kebebasan
berpikir, berpendapat dan berorganisasi. Salah satunya dibuktikan dengan banyaknya penerbitan
koran/surat kabar dan majalah yang dibredel;
f.
Penggunaan kekerasan untuk
mengatasi konflik-konflik yang terjadi di masyarakat;
g.
Tidak ada rencana suksesi
atau pengalihan kepemimpinan;
h. Menurunnya kualitas
birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit “Asal Bapak Senang” (ABS). Hal ini merupakan kesalahan
paling fatal orde baru karena tanpa birokrasi yang efektif
negara akan hancur.
3) Periode Orde
Reformasi 1998 – sampai dengan sekarang.
Sejak masa Orde Baru, Pancasila dijadikan seperangkat ideologi
untuk menopang kekuasaan otoriter pemerintah. Anggota masyarakat,
tokoh, maupun organisasi yang berusaha menyuarakan suara kritis terhadap kebijakan pemerintah akan dianggap
sebagai anti-Pancasila, tidak Pancasilais, dan lain-lain. Akibatnya,
sejak reformasi yang berhasil melengserkan Soeharto, image
rakyat Indonesia sangatlah buruk terhadap Pancasila.
Pancasila untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hamper selalu
identik dengan rezim Orde Baru. Pancasila dianggap sebagai
sesuatu indoktrinasi pemerintah di segala bidang kehidupan dengan tujuan
untuk menyeragamkan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Hal itu berujung dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 yang mencabut Ketetapan
MPR Nomor II/MPR/1 978 tentang P-4. Dengan dicabutnya penataran P-4, maka lembaga yang mengurusnya, yakni BP-7
juga turut dibubarkan.
Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada era
reformasi ini, kemudian berdampak fatal terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara (Syarbaini dalam Augustin, 201 9:44). Akibatnya
dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat kehilangan kendali
atas dirinya, terjadi konflik-konflik horizontal dan vertical secara
masif yang melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dampak terjadinya konflik baik horizontal maupun vertikal secara makro dapat
mengakibatkan pembangunan nasional tidak dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Segala benturan sosial tersebut akibatnya akan selalu sama terhadap masyarakat yakni stres
sosial, kepedihan, disintegrasi sosial disertai musnahnya aset-aset
material dan non-material. Praktik intoleransi baik berdasar
konflik etnis, agama maupun sumber daya sungguh menjadi keprihatinan bersama
karena telah memecah belah persatuan bangsa yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya.
Penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa pada masa reformasi terus menghadapi berbagai tantangan.
Penerapan Pancasila tidak lagi dihadapkan pada ancaman
pemberontakan-pemberontakan yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi
lain, akan tetapi lebih dihadapkan pada kondisi kehidupan masyarakat yang diwarnai kehidupan yang serba
bebas. Kebebasan pada saat ini meliputi berbagai macam bentuk
mulai dari kebebasan berbicara, berorganisasi, berekspresi. Banyak hal negatif
yang timbul sebagai akibat penerapan konsep kebebasan yang tanpa batas, seperti munculnya pergaulan bebas, pola
komunikasi yang tidak beretika dapat memicu terjadinya perpecahan
dan sebagainya.
Tantangan yang tidak kalah beratnya adalah perkembangan dunia yang
sangat cepat dan mendasar dari globalisasi. Sehingga memungkinkan
terjadinya penyusupan ideologi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan sering terjadi di era globalisasi
ini terjadi intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan
nasional. Hal tersebut dapat mengakibatkan kesulitan bagi bangsa
Indonesia untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa.
Proses globalisasi membawa dampak serius terhadap eksistensi
bangsa dan negara Indonesia. Proses globalisasi yang begitu
cepat merupakan tantangan dan berpengaruh secara signifikan terhadap semua
manusia di berbagai negara termasuk bangsa Indonesia (Kaelan, 201 5:27). Mengutip dari Anthony Giddens
(dalam Kaelan, 2015:27) menamai proses globalisasi sebagai
‘the runaway world’. Menurutnya terjadi perubahanperubahan di berbagai bidang
terutama perubahan sosial di suatu negara yang akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain.
Pengaruh globalisasi bukan hanya pada bidang ekonomi dengan kapitalisme,
industrialisme, tapi juga akan membawa ke arah perubahan ideologi sebuah
negara (Fukuyama,1 989:48 dalam Augustin, 201 9:23). Toynbee (dalam Kaelan, 201 5:30) sudah mengingatkan
akan hal tersebut bahwa “jika challenge kebudayaan terlalu besar dan response kecil, maka akibatnya kebudayaan
itu akan terdesak dan punah. Sebaliknya jika challenge kebudayaan itu kecil, sedangkan respon suatu bangsa itu
besar, maka akan terjadi akulturasi yang tidak dinamis, artinya
kebudayaan bangsa itu tidak akan berkembang dengan baik”.
Untuk itu jika bangsa Indonesia dalam proses perubahan ingin
berkembang maju dengan baik maka harus ada keseimbangan antara challenge dan response sehingga Pancasila yang
merupakan philosofische grondslag tidak akan dapat digantikan
oleh ideologi manapun di dunia ini.
Seyogyanya gerakan reformasi tetap berdasarkan kerangka perspektif
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa.
Sebab tanpa adanya sumber dan dasar nilai yang jelas dan tegas
maka reformasi hanya akan mengarah pada suatu disintegrasi bangsa yang
mengakibatkan kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia (Augustin, 201 9: 45).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar