Kebutuhan Dasar Manusia.
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.
1. Kebutuhan Bertahan Hidup.
Kebutuhan bertahan hidup
(survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup
misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Kebutuhan biologis sebagai bagian dari
proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi
kebutuhan akan perasaan aman.
2. Kasih sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk
Diterima).
Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis.
Kebutuhan untuk disayangi dan diterima meliputi kebutuhan akan hubungan dan
koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan
untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi
keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga,
pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita
tergabung.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar kasih sayang dan rasa diterima yang
tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga
akrab dengan orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya.
Bagi mereka, teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka bekerja
dalam kelompok.
Poto Dokpri Sigid PN-SMPN Satu
Atap Cibulan
3. Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas
Kemampuan).
Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi
kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita,
didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan
untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian,
kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk
meninggalkan pengaruh. Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan penguasaan
yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi pemimpin, mereka juga suka mengamati
sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan. Mereka
juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu ingin mencapai yang terbaik.
4. Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan).
Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki
pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak dengan
kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak
bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang
mencoba hal baru dan menarik.
5. Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang).
Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan,
bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa
menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar.
Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata,
dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang
penting. Manusia tidak berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan
yang tinggi biasanya ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga bisa
berkonsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka
permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga
menggemaskan. Bahkan saat mereka bertingkah laku buruk, mereka masih terlihat
lucu.
Lima Posisi Kontrol dalam Penerapan Disiplin.
Berbicara tentang penerapan disiplin disekolah, rasanya kita perlu
melakukan refleksi, evaluasi dan merenungi apa yang disampaikan oleh Diane
Gossen yang menyatakan dalam bukunya yang berjudul Restitution
Restructuring School Discipline (1998) bahwa selama ini guru-guru
perlu meninjau kembali dan berintrospeksi diri bagaimana penerapan disiplin di
dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini.
Apakah yang dilakukan selama ini telah efektif, memerdekakan, dan
memandirikan serta berpusat pada murid? Atau justru hasilnya malah negatif,
perubahan sikap yang diharapkan jauh dari yang diharapkan, peserta didik dan
orang tua yang menitipkan anaknya kepada kita tidak menerima perlakuan yang
diberikan, yang muncul malah resistensi, kebencian, kemarahan bahkan serangan
terhadap para guru
Atas dasar peristiwa tersebut, di bawah ini merupakan paparan tentang 5
posisi kontrol Diane Gossen dalam penerapan disiplin di sekolah, semoga dengan
paparan ini bisa menjadi introspeksi diri yang dilanjutkan perbaikan langkah
penerapan disiplin dengan segitiga Restitusi.
Melalui serangkaian riset yang didasarkan teori Kontrol DL William Glasser,
Diane Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang umum dan biasa diterapkan
seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol serta penerapan
disiplin disekolah.
Kelima posisi kontrol tersebut adalah; Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah,
Teman, Pemantau dan Manajer. Berikut ini uraian 5 Posisi kontrol dalam
menerapkan disiplin di sekolah.
1. Penghukum.
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang
yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah
memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam
lagi.
Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:
- "Patuhi
aturan saya, atau awas kamu akan dihukum berdiri di lapangan sekolah”.
- "Kamu selalu saja salah”!
- "Selalu, kamu pasti selalu yang terakhir
selesai”!
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada
satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara yang dia terapkan.
2. Pembuat Merasa Bersalah.
Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara
lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat
orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri.
Contoh kata-kata yang keluar dengan lembut seperti:
- "lbu
sangat kecewa sekali dengan kamu”>
- "Berapa
kali Bapak harus memberitahu kamu ya”?
- "Gimana
coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini”?
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri
mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang
disayanginya.
3. Teman.
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya
mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun
positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan
murid.
Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi
seseorang, mereka akan berkata:
- "Ayo bantulah, demi Bapak ya”?
- "Ayo
ingat tidak bantuan Bapak selama ini”?
- "Ya
sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti lbu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman
adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan
berkata, "Saya pikir bapak/lbu teman saya". Maka murid merasa
dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah
murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
4. Pemantau.
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggungjawab
atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi.
Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan
pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi
pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
- "Apa
yang telah kamu lakukan”?
- "Kamu
tahu kan sanksi atau konsekuensinya dari perbuatan kamu apa”?
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat
digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan
stiker, slip catatan, daftar cek.
Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang
menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
5. Manajer.
Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid,
mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar
dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
Seorang Manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun
pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada
kedua posisi tersebut bila diperlukan. Bila kita menginginkan murid-murid kita
menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu
mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi
dirinya sendiri.
Guru dalam posisi Manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan
dirinya, maupun kebutuhan orang Iain. Disini penekanan bukan pada kemampuan
membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana
memperbaiki kesalahan yang ada.
Seorang Manajer akan berkata ;
- "Apa yang kita Yakini”? (kembali ke keyakinan
kelas)
- "Apakah kamu meyakininya”?
- "Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia
memperbaikinya”?
- "Jika
kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu”?
- "Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini”?
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita
membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya
memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke
kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah
pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi
yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya,
yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Restitusi Menanamkan Disiplin positif Pada Murid.
Restitusi adalah proses
menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka
bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen;
2004). Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid
untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang
seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan
orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Restitusi membantu murid menjadi
lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat
salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan
orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi
orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang
teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.
Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan
cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang
dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali
harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang
yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William
Glasser tentang solusi menangmenang.
Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan
kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid perlu
bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat
memilih untuk belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di
waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid
akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk
hidup mereka.
Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program
disiplin lainnya:
1. Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun
untuk belajar dari kesalahan.
Dalam restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan untuk
menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian yang
timbul, atau sekedar meminta maaf. Karena kalau fokusnya kesana, maka murid
yang berbuat salah akan fokus pada tindakan untuk menebus kesalahan dan
menghindari ketidaknyamanan, yang bersifat eksternal, bukannya pada upaya
perbaikan diri, yang lebih bersifat internal. Biasanya setelah menebus
kesalahan, orang yang berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi
itu sehingga merasa lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.
Restitusi sebenarnya juga meliputi usaha untuk menebus kesalahan, tetapi
sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan. Proses
pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk
melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya
pada mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang
lebih baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada
dalam diri kita. Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih
baik untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai
terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.
2. Restitusi memperbaiki hubungan.
Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya. Restitusi
juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan
bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan
pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi
jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari tindakan mereka
pada orang lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai,
mereka bisa mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus
kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.
3. Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan.
Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi
konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid akan bertanya, apa
yang akan terjadi kalau saya tidak melakukannya. Memaksa melakukan restitusi
bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan.
Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang membuat murid
bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata,
“Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti pernah
berbuat salah”. Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan
mengatakan.
4. Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri.
Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara
tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang orang seperti
apa yang mereka inginkan. Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada
diri anak. Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa
yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa
sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di mana. Murid tidak
akan berbohong pada guru.
5. Restitusi mencari kebutuhan dasar yang
mendasari tindakan.
Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid
untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau murid paham bahwa
setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat
membantu, sehingga ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari
kebutuhan apa yang sedang mereka coba penuhi, demikian juga kebutuhan orang
lain.
Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta mereka
mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan adanya
kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan dipaksa, atau
terlalu banyak beban, menunjukkan kurangnya kebutuhan akan kebebasan. Perasaan
takut akan kelelahan, kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak
aman. Perasaan bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan kesenangan.
6. Restitusi diri adalah cara yang paling baik.
Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari
kecenderungan untuk mengomentari orang lain, menjadi mengomentari diri sendiri.
Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri
sendiri, orang yang tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain.
7. Restitusi fokus pada solusi.
Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan mengatakan, “Kita
tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk mencari siapa yang
benar, siapa yang salah.
8. Restitusi mengembalikan murid yang berbuat
salah pada kelompoknya.
Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi
baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam
diri mereka. Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah
mereka, dan berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter
yang lebih kuat.
Sumber: Modul 1.4 Budaya Positif Pendidikan Guru Penggerak Tahun 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar