Oleh : Sigid Purwo Nugroho, S.H., S.Pd
Guru PPKN
SMPN Satu Atap Cibulan
Modul 1 Konsep Dasar Literasi dan Numerasi
Menelusuri literasi masyarakat Indonesia
sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang, melampaui peluncuran
pertama kali UNESCO pada tahun 1946 mengenai global literacy effort. Menurut
para arkeolog, filolog dan antropolog bahwa literasi tulis-menulis di nusantara
sudah berkembang mulai abad 5 masehi sejak kehadiran Hindu dan Budha serta
tercatat di abad 13 ketika agama Islam datang. Di masa Hindu dan Budha sudah
dikenal bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa, di era Islam berkembang bahasa
Arab dengan aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu.
Bahkan berdasarkan penuturan beberapa arkeolog,
literasi (dalam artian literasi gambar) telah ada pada masa pra sejarah ribuan
tahun yang lampau. Berdasarkan keterangan Indonesianis dari Universitas
Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan,
Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah
muncul sejak berabad-abad silam. Menurutnya, karena sudah memiliki kekayaan tradisi
lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau
untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya.
Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat
satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya,
merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang
terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi
menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta,
disebabkan hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015).
Ditinjau dari perspektif ini maka masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia
secara empirik tidak dapat dipungkiri telah tumbuh dan berkembang literasinya
(Suprajogo, 2020).
Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai
melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa membaca. Sehingga pada
fase-fase awal, literasi secara umum selalu diidentikkan dengan kemampuan
membaca. Dalam perkembangan berikutnya, dimaksudkan literasi adalah suatu
kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi ini -plus kemampuan menghitung-
sering diistilahkan sebagai literasi dasar (basic literacy). Seiring dengan
dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, apatah lagi di
era digital saat ini, maka konsep dan definisi serta pemaknaan literasi kian
kompleks dan variatif. Dari 6 (enam) macam literasi dasar yang diperkenalkan
oleh World Economic Forum (WEF) hingga literasi untuk kesejahteraan (functional
literacy dalam istilah UNESCO di tahun 1965). Dari pengertian literasi di tahun
1957, UNESCO menyebutkan bahwa seseorang dapat disebut literat apabila bisa
memahami, baik dengan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana yang
singkat tentang kehidupannya sehari-hari hingga literasi adalah kemampuan untuk
mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan
menghitung, menggunakan materi cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai
konteks (UNESCO, 2004, 2017). Bahkan lebih jauh konsep literasi dalam
perkembangannya adalah menekankan pada pemanfaatan teknologi dan informasi
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan
sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan. Literasi melibatkan suatu rangkaian
kesatuan pembelajaran dalam memampukan individu-individu untuk mencapai
tujuan-tujuan mereka, mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, serta
berpartisipasi secara penuh di dalam komunitas mereka dan masyarakat luas
(UIS, UNESCO, 2018).
Berangkat dari variasi dan perkembangan konsep,
definisi dan pemaknaan literasi setidaknya dari yang dikemukakan UNESCO dari
tahun ke tahun, tentu ketika disebutkan bangsa tertentu adalah rendah
literasinya maka harus dibatasi dan disepakati terlebih dahulu konsep, definisi
dan makna literasi yang dimaksud. Penentuan konsep, definisi dan
pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter, variabel dan
indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur tingkat
literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam
mendefinisikan dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara
proporsional sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur
kunci terkait definisi literasi UNESCO seperti disebutkan oleh Montoya
(2018) yaitu:
- Literasi
adalah tentang penggunaan yang mana masyarakat menjadikannya sebagai
sarana berkomunikasi dan berekspresi, melalui berbagai media;
- Literasi
bersifat jamak, dipraktikkan dalam konteks tertentu untuk tujuan tertentu
dan menggunakan bahasa tertentu;
- Literasi
melibatkan kontinum pembelajaran yang diukur pada tingkat kemahiran yang
berbeda.
Kelisanan
dan literasi sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika
sebuah bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka
telah menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri
lebih jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad),
mereka terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari
generasi ke generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui
tradisi dan budaya bertutur (orality). Kemampuan dan keterampilan retorika
justru merupakan suatu kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat
kecerdasan yang dimiliki. Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia
saja tetapi juga bangsa Arab yang dikenal dengan ummi (tidak membiasakan
membaca dan menulis) (al Alusi, t.t.; 38-48) dan bangsa Yunani dan
Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang terbiasa
menggunakan lisan dan belum mengembangkan -secara formal- kebiasaan membaca dan
menulis dapat dijuluki illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah
kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga
karenanya masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate
society, namun bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa
dituding tidak literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi,
sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif (Harris, 1991,
Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara pandang ini yang harus kita pergunakan untuk
memahami hubungan tradisi dan budaya lisan dengan literasi (dalam artian,
membaca dan menulis) pada konteks masyarakat dan sosial budaya Indonesia
sehingga tidak lagi muncul pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya minat baca
masyarakat kita disebabkan karena adanya kebiasaan bertutur (orality). Jika
ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), justru terdapat
hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan
membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik bagaimana murid-murid memperoleh
pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses
yang mana mereka mempelajari bahasa lisan (spoken language) (Ray dan Medwell,
1991;70-71). Semakin kaya murid-murid mendapatkan keluasan dan keragaman kosa
kata, ujaran yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka
secara kognitif untuk mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka. Berbicara
mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata
murid-murid (Anderson, 1985; 21-22). Pengalaman-pengalaman cerita memiliki
signifikansi yang tinggi di dalam kehidupan kita dan di dalam perkembangan
literasi, terutama murid-murid mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan
menjadi aktivitas bahasa paling tua dan paling dasar (Whitehead, 1990,
97-98).
Dari
berbagai penelitian memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut
melengkapi suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta
keterampilan bagi pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang
jelas dan lancar, diksi yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan
kalimat-kalimat yang lengkap dan sempurna jikalau diperlukan, perbedaan
pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan
urutan suatu cerita, atau menghubungkan aneka peristiwa dalam urutan yang
wajar. Sesungguhnya penumbuhan budaya keaksaraan adalah dimulai dari keluarga.
Ini yang lazim disebut emerging literacy. Emergent literacy menganggap bahwa
perkembangan bahasa lisan tidak merupakan prasyarat untuk perkembangan bahasa
tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan saling mendukung dan
mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat dilakukan melalui
percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita (Akhadiah, 1998;
33-35).
Di rumah, murid-murid memperoleh konsep untuk memahami
sesuatu, kejadian, pikiran dan perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk
mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa
(grammar) dasar bahasa lisan (oral language). Banyak murid mempelajari sesuatu
mengenai bentuk-bentuk cerita, bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan
bagaimana menerima sedikit ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan
kata-kata. Perkembangan awal pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari
pengalaman berbicara dan belajar tentang dunia. Membaca tergantung pada
pengetahuan yang luas. Pengalaman yang luas semata adalah tidak cukup. Ada cara
yang mana orangtua berbicara ke murid-murid mereka tentang suatu pengalaman yang
mempengaruhi pengetahuan apa yang murid-murid peroleh dari pengalaman itu dan
kemampuan mereka berikutnya untuk menggambarkan perihal pengetahuan tersebut
ketika membaca. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok
konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Suprajogo, 2020).
Sebenarnya
murid usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya
literasinya. Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara
yang menyenangkan dan tidak dipaksa. Pandangan tentang murid usia dini
harus bisa calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki sekolah dasar.
Secara formal, kurikulum PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas
calistung (membaca, menulis dan berhitung). Namun terdapat anggapan bahwa
murid yang tidak bisa calistung maka akan menjumpai kesulitan ketika
memasuki jenjang SD. Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas
teks pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa
calistung.
Pada
beberapa sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk
sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga
soal-soal ujian formatif maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk
murid yang sudah bisa membaca dan menulis. Di masyarakat, kita dengan mudah
menjumpai PAUD maupun TK yang mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki
program baca tulis dan menggaransi ketika murid lulus bisa calistung, justru
banyak diminati. Berawal dari pola pikir orangtua ini, seringkali guru hanya
fokus mengembangkan potensi akademik (calistung) pada peserta didik, sehingga
ada yang kecenderungan untuk mengabaikan berbagai potensi non akademiknya. Para
guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan kepada dua pilihan. Memilih
mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme pembelajaran yang sesuai
dengan usia dan tahapan perkembangan murid (developmentally appropriate
practice).
Mengikuti
penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan menulis
tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran
langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi
dengan orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri
berbagai tulisan. murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan
bahasa tulis untuk berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara
alamiah seperti dalam mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam
Akhadiah, 1998; 35).
Dunia
murid usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar
murid usia dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak
kita dengan sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai
kegiatan seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya
di atas meja, harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks
pelajaran, diam seribu bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang
disampaikan oleh bapak ibu guru di depan kelas. Padahal sebenarnya aktivitas
murid adalah aktivitas bermain. Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia
murid-murid. Bermain adalah kebutuhan murid-murid secara alamiah. Tanpa
diminta, diperintah apalagi dipaksa, murid-murid pasti sangat suka bermain.
Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang pasti membuat lupa waktu dan
murid-murid tenggelam dalam keasyikan tersebut (Roshonah, 2015; 35).
Literasi
seharusnya memang berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan
bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan melalui
kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain.
murid-murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan
masa depan mereka. Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik,
perkembangan emosional, sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya.
Dengan bermain, murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca,
tulis dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya.
Melalui
bermain, murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan yang
sangat kaya. Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari
bahasa lisan (spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam
keseharian. Mulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga
orang-orang yang berada di sekitarnya dan di sekolah dasar. Di dalam keluarga
dapat dilakukan secara natural kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan
lingkungan literasi. Semuanya dilakukan dalam bentuk aktivitas bermain.
Mulai bermain tebak-tebakan kata, mendengarkan cerita dan ikut terlibat dalam
kegiatan bercerita, menggambar dan mewarnai gambar diiringi dengan memaknai
gambar dengan mendengar komentar dari murid-murid, memanfaatkan kertas dan
semacamnya dengan beragam alat tulis sederhana untuk melakukan kegiatan
mencorat-coret, mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk mainan kartu
dan sebagainya.
Lingkungan
literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan menjadi
pondasi penting agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca
menulis dan berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus
dijauhkan dari aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana
murid-murid cenderung digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan
pengalaman pra-membaca yang menyenangkan. Tampak di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik
belajar yang kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan
melalui bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan
dipaksakan tanpa memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka,
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD,
konsentrasi pada aktivitas belajar formal tidak jarang mengabaikan kesempatan
murid didik untuk bermain guna menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan
dan kecakapan literasinya melalui beraneka ragam kegiatannya.
Bagi
siswa-siswi SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang
mereka miliki untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang
menyenangkan dan mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka.
Sesungguhnya para siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan
yang sangat variatif. Dari kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan
topik-topik yang menarik perhatian remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian
dan saling membacakan buku, membuat dan mengisi majalah dinding, blog,
dan web site, hingga cerpen, novel, esai populer dan menulis buku. Yang
terpenting adalah bagaimana aktivitas literasi menjadi kegiatan yang mampu
mewadahi mereka untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan kesenangan dan
mengekspresikan gagasan positif, kreatif, dan inovatif remaja.
Secara
etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang
diartikan pada awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang
mengetahui (aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf.
Dalam istilah Yunani, grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera,
artinya huruf alfabet. Di akhir abad 18, istilah literasi secara khusus
diartikan berkenalan dengan sastra. Pada tahun 1894, sebagai kata benda, literasi
diartikan, seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari konsep dan definisi
literasi awal ini tampaknya yang menimbulkan kesalahpahaman pandangan mengenai
literasi. Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika program
literasi, yang awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan seseorang dapat
membaca alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam suatu negara
dijadikan alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif ideologis bangsa
atau kelompok masyarakat yang dominan. Mereka yang tidak dapat membaca aksara,
kelompok ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan demikian, terbelakang
dan harus ‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12). Padahal dalam
perkembangannya, literasi mengalami perluasan konsep, definisi, dan makna yang
tidak dapat dilepaskan dari konteks yang ada.
Literasi
membaca pada umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa aksara
(huruf). Membaca secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang
dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan
penulis melalui bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Juga membaca
diartikan adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan
lambang-lambang bahasa tulis. Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata
hanya pada teks tertulis atau berupa aksara (huruf)? Dalam ranah semiotika,
teks adalah simbol yang memiliki makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi.
Teks bisa disimbolkan berupa aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka
membaca seharusnya tidak lagi hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks
dalam bentuk tertulis. Dilacak dari pengalaman masa lampau, telah ditemukan
lukisan gua berupa coretan, gambar, atau cap yang terdapat di dinding gua atau
tebing yang dibuat oleh orang-orang purba sebagai medium untuk menyampaikan
pesan atau catatan-catatan peristiwa. Bentuk visual yang terdapat di
dinding-dinding gua merupakan alat komunikasi antar manusia pada zaman dahulu.
Untuk saat ini, teks visual dalam bentuk gambar, ilustrasi, material dari media
massa seperti iklan, poster, infografis, juga presentasi visual dalam bentuk
bagan, grafik, diagram dan peta maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11).
Termasuk di dalam literasi membaca tentunya adalah membaca tanda-tanda alam
sebagaimana yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada,
masyarakat nusantara terdahulu hingga masih dipraktikkan oleh sebagian suku
(etnis) tertentu seperti membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan
arah (navigasi), rasi Waluku (orion) dipakai para petani untuk menentukan masa
tanam dan panen (bahasa Jawa, pranoto mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca
untuk menentukan melaut atau tidak, dan sebagainya.
Miskonsepsi
berikutnya mengenai literasi adalah pandangan bahwa literasi identik dengan membaca,
bukan yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh pendapat yang
mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep literasi
sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis
(Whitehead, 1990; 172, Kennedy, 2012; 41). Keempatnya merupakan keterampilan
ataupun seni berbahasa (language arts, language skills). Satu dengan yang
lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002;
278-279). Aktivitas proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat
keterampilan (seni) berbahasa ini akan meningkatkan kemampuan berpikir,
berkomunikasi dan belajar seseorang.
Keempat
keterampilan berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini. Literasi
dini ini utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak
kelahiran seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi
janin di dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan
Golant, 1985, Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan
pengasuhan 1000 HPK (Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018). Secara umum,
pertumbuhan dan perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian
orangtua. Namun perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus
(Dewayani dan Setiawan, 2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan
literasi di rentang waktu 1000 hari itu melibatkan aktivitas mengajak
berbicara, mendengar, mengajukan pertanyaan terbuka, bercerita untuk disimak,
menyanyi, membacakan buku, menggambar, mencorat-coret, dan sebagainya.
Menenggelamkan (immersion) mereka secara penuh dalam lingkungan budaya
keaksaraan (literacy environment).
Memakai
konsep sesuai dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada kegiatan
pembelajaran dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus mencerminkan
kebutuhan perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-linguistik
(Otto, 2015; 156). Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid,
terutama cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya
ditandai dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan
pengolahan informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24).
murid-murid usia dasar cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa
penyempurnaan selanjutnya. Kosakata berlanjut untuk berkembang sebagaimana
aktivitas membaca ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun
rata-rata orang muda mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir
abstraknya, remaja dapat menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah
menggunakan istilah-istilah yang mengekspresikan hubungan logis serta menjadi
lebih sadar akan kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna dan
senang menggunakan ironi, permainan kata dan metafora. Mereka juga sudah lebih terampil
dalam menggunakan perspektif sosial yaitu kemampuan untuk merangkai
kata-kata pada tingkat pengetahuan dan sudut pandang orang lain (Owens, 1996
dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27). Berbasis pada konsep, tahapan dan
karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan perkembangannya, maka
kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi penggunaan dari semua aspek
keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis
secara menyeluruh dan integratif, tidak parsialistik dan dikotomistik. Yang
mana ini harus diterjemahkan dalam strategi, metode, dan teknik
menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di dalam kurikulum, materi maupun
media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada format aktivitas membaca
semata.
Apalagi
lagi di era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang
banjir stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi
digital dalam desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi,
film (Dewayani, 2017; 43), perangkat playstation (PS) yang menyajikan
informasi, hiburan dan permainan dan media digital berupa gawai, tablet dan
semacamnya. Literasi kekinian tetap dikembangkan melalui penerapan keempat
keterampilan berbahasa itu dengan pemanfaatan berbagai variasi media yang ada
secara fungsional. Strategi, metode, dan tekniknya tentu diaktualisasikan
sesuai kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta perilaku remaja saat ini.
Literasi tidak dapat dipaksakan, apalagi pada remaja hanya dalam bentuk
aktivitas membaca. Oleh karenanya, media multimodal, media yang
melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio,
visual, audiovisual, gestur dan teks spasial, menjadi bagian penting dari
kehidupan siswa. Sudah tepat, buku Panduan GLS (Gerakan Literasi Sekolah)
ketika mengartikan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan
menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain
membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (GLS, 2017).
1.a.2. Definisi,
Konsep dan Makna Literasi dalam Lintasan Waktu
Setelah kita mempelajari latar belakang munculnya
miskonsepsi literasi dan bertanya jawab mengenai beberapa miskonsepsi literasi,
mari kita perkuat pengetahuan dan pemahaman kita perihal definisi, konsepsi dan
makna literasi itu sebenarnya.
Silakan pelajari materi yang diberikan pada
setiap halaman, dan berikan ringkasan singkat menggunakan bahasa sendiri untuk
lebih memperkuat materi.
Bapak/Ibu juga dapat menyimak dan memberikan
komentar terhadap jawaban peserta lainnya agar mendapatkan pemahaman lebih
mendalam mengenai materi yang dipelajari.
1.
Definisi, Konsep
dan Makna Literasi menurut UNESCO.
Konsep dan definisi literasi menurut UNESCO
senantiasa mengalami perkembangan selama kurang lebih 5 (lima) dekade hingga
sekarang. Pada tahun 1965, literasi diartikan sebagai keterampilan membaca,
menulis dan aritmatika. Sesuai konsep ini, numerasi diposisikan sebagai bagian
dari literasi maupun dipisahkan dari literasi. Di tahun 1957, UNESCO
menyebutkan bahwa seseorang dapat disebut literat apabila bisa memahami, baik
dengan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana yang singkat tentang
kehidupannya sehari-hari. Tahun 1970-an dimulai gerakan ke arah menghubungkan
literasi dengan pengembangan dan keterampilan kejuruan, menandai pengakuan
bahwa literasi berfungsi sebagai kompetensi kunci dalam mengejar pembangunan
sosial-ekonomi. Diberi label 'literasi fungsional', sebagian besar berfokus
pada inisiatif skala kecil yang dapat dilakukan oleh individu dan kelompok di
tingkat masyarakat, melalui memperoleh akses ke pengetahuan baru (tentang
pertanian, pengolahan dan pemasaran produk, kerajinan dan perdagangan),
memperoleh keterampilan manajemen yang lebih baik (mencatat akun,
mendokumentasikan rapat dan keputusan, mencatat panen, mengelola irigasi) atau
berpartisipasi dalam jaringan ekonomi (koperasi, pendaftaran pemerintah,
proposal pendanaan dan laporan). Dalam kurun lima dekade tersebut, konsep
literasi telah berkembang dari keterampilan membaca, menulis, dan berhitung dasar
menjadi gagasan yang lebih luas seperti literasi fungsional dan landasan untuk
pembelajaran sepanjang hayat. Definisi literasi terbaru adalah kemampuan untuk
mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan
menghitung, menggunakan materi cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai
konteks (UNESCO, 2018). Yang mana literasi melibatkan rangkaian kesatuan
pembelajaran yang memampukan individu dalam mencapai tujuan mereka, untuk
mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, dan untuk berpartisipasi secara
penuh dalam komunitas dan masyarakat luas mereka.
2.
International
Literacy Association (ILA)
ILA
mendefinisikan literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami,
menafsirkan, membuat, menghitung, dan berkomunikasi menggunakan materi visual,
audio, dan digital lintas disiplin ilmu dan dalam konteks apa pun.
3.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Menurut
definisi yang dikemukakan di dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan
menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain
membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara (2017). Dalam Panduan
Gerakan Literasi Nasional (GLS), Kemendikbud memperkenalkan dimensi literasi
yang mencakup literasi baca dan tulis, numerasi, sains, digital dan literasi
budaya dan kewargaan sebagaimana yang dikemukakan oleh OECD.
4.
Menurut
OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)
Literasi
menurut pengertian OECD adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan
informasi tercetak dalam kehidupan sehari-hari kegiatan, di rumah, di tempat
kerja dan di masyarakat untuk mencapai tujuan, dan untuk mengembangkan pengetahuan
dan potensi seseorang
5.
Perpustakaan
Nasional RI
Berdasarkan versi Perpustakaan Nasional RI,
mengartikan literasi dalam konsep 4 (empat) hierarki literasi yang meliputi
kemampuan mengumpulkan sumber-sumber bacaan, kemampuan memahami yang tersirat
dari yang tersurat, kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan baru, teori baru
dan kreativitas serta inovasi baru hingga memiliki kemampuan menganalisis
informasi dan menulis buku, yang terakhir adalah kemampuan menciptakan barang
atau jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global. Keempat
hierarki literasi ini dapat diterapkan sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakat
yang riel. Bagi masyarakat yang belum memiliki akses terhadap adanya buku, maka
dilakukan strategi, program dan kegiatan berupa mengumpulkan sumber-sumber
bacaan. Kemudian apabila masyarakat sudah terpapar bahan-bahan bacaan, maka
perlu dimotivasi dan stimulasi untuk tumbuh dan berkembang minat, kegemaran dan
budaya bacanya. Tidak berhenti di aktivitas membaca buku, tetapi harus lebih
jauh berupaya memahami pesan baik berupa pengetahuan maupun informasi yang
dapat diperoleh dari bahan bacaan itu. Meningkat dari kemampuan memahami
bacaan, adalah mendialektikkan antara pengetahuan yang dimiliki si pembaca
dengan gagasan yang dikemukakan oleh si penulis buku. Melalui proses ini
diharapkan mampu secara kreatif melahirkan konsep-konsep baru yang inovatif.
Ide-ide yang inovatif diterjemahkan dalam wujud barang dan jasa yang
dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
6.
New Literacy Studies (NLS)
‘The
New Literacies Studies’ diuraikan secara tata bahasa berbeda dari ‘the New
Literacy Studies’. NLS adalah tentang mempelajari literasi dengan cara
baru. 'The New Literacy Studies' adalah tentang mempelajari jenis literasi baru
di luar literasi cetak, terutama 'literasi digital' dan praktik literasi yang
tertanam dalam budaya populer. The New Literacies Studies memandang berbagai
alat digital sebagai teknologi untuk memberi dan mendapatkan makna, seperti
halnya bahasa (Alvermann et al. 1999; Buckingham 2003, 2007; Coiro et al. 2008;
Gee 2004, 2013; Hobbs 1997; Jenkins 2006; Kist 2004 ; Knobel dan Lankshear
2007; Kress 2003; Lankshear 1997; Lankshear dan Knobel 2006; New London Group
1996). Singkatnya NLS memandang literasi adalah sebagai suatu gerakan sosial.
Pengertian Literasi Menurut Para Ahli
Pengertian literasi dapat diartikan menjadi
literasi secara umum dan literasi digital. Agar menyingkat pembahasan dan
uraian, maka pada kesempatan kali ini akan di ulas pengertian literasi secara
umum terlebih duhulu.
Secara umum, pengertian literasi
diambil dari bahasa serapan Inggris, yaitu literacy.
Dimana dapat diartikan sarana untuk sumber belajar. Ternyata
pengertian literasi itu sendiri tidak hanya diartikan dalam satu sudut pandang
saja loh. Ada banyak pengertian literasi menurut para ahli. Tentu saja setiap
orang memiliki pendapatnya masing-masing.
Bahkan, kamu sendiri pun juga bisa mengartikan
literasi sesuai dengan apa yang kamu rasakan dan kamu pahaami. Atau mungkin,
kamu memiliki definisi lain tentang literasi. Sayangnya ktia sebagai orang
biasa yang tidak banyak dikenal. Akan beda cerita jika pendapat dan pengertian
ini disampaikan oleh orang orang yang berpengaruh dan orang besar.
Berikut adalah pengertian literasi menurut
beberapa ahli. Semoga dengan pengertian ini pun mampu menyentil kesadaran diri
akan pentingnya literasi dalam kehidupan sehari-hari. pentingya literasi untuk
meningkatkan kualitas hidup, mematangkan keterampilan dan memperlancar dalam
membangun komunikasi dengan dunia sosial dan semacamnya. Langsung saja, berikut
pendapat para ahli dan organisasi terpercaya.
Pengertian
Literasi Menurut Para Ahli dan Organisasi Dunia
1. Menurut
Elizabeth Sulzby
Literasi menurut Elizabeth Sulzby adalah
kemampuan seseorang dalam berbahasa dan berkomunikasi. Dimana orang tersebut
tidak hanya memiliki kemampuan membaca saja. Tetapi juga memiliki kemampuan
menyimak, berbicara serta menulis.
Dari apa yang disampaikan oleh Elizabeth di atas
menunjukan bahwa literasi sebagai faktor utama agar seseorang bisa berkembang
dan melek ilmu pengetahuan lewat membaca. Setidaknya pula, lewat membaca
mengantarkan individu tersebut memiliki keterampilan lain selain pengetahuan.
Misalnya memiliki keterampilan lain dibidang yang telah mereka baca atau
semacamnya.
2.
Menurut Harvey J. Graff
Sependapat dengan pendapat Harvey J. Graff, yang
mengartikan bahwa literasi adalah kemampuan seseorang dalam membaca dan
menulis. Setidaknya dengan dua hal ini masyarakat menjadi lebih melek ilmu
pengetahuan.
Pengetahuan yang didapatkan dari membaca inilah
yang juga bisa mengasah keterampilan berkomunikasi dengan baik. Serta
meningkatkan mutu kehidupan karena memiliki keterampilan tambahan lain.
Misalnya terampil menulis buku dan mendapatkan royalty atau semacamnya.
3.
Pengertian Literasi Menurut Jack Goody
Sebenarnya pendapat Jack goody pun juga sama inti
dari pengertian literasi. Yaitu kemampuan individu dalam membaca dan menulis.
Namun hemat saya, memang literasi itu sangat penting. Karena pentingnya peranan
literasi inilah mampu menentukan kredit point sebuah Negara.
Sebut saja Negara-negara seperti Jepang, Eropa
dan Amerika. Masyarakatnya memiliki kesadaran tinggi akan literasi. Jauh
berbeda dengan Indonesia yang kesadaran literasi masih sangat rendah. Secara umum,
disini kita bisa melihat bahwa Negara yang memiliki kesadaran dan pengertian
literasi dengan baik lebih mudah diajak untuk memajukan negaranya. Terbukti
Negara-negara tersebut pun juga berkembang pesat dari banyak sektor.
4.
Menurut Kamus Online Merriam – Webster
Menurut kamu online marriam Webster literasi
adalah kemampuan melek aksara pada individu. Dimana melek aksara ini tidak
hanya diartikan sebagai melek aksara dalam arti sebenarnya, misalnya membaca
buku dan semacamnya. Tetapi termasuk juga kemampuan membaca dan memahami
ide-ide secara visual.
Termasuk ketika melihat iklan reklame atau
melihat iklan baliho maupun poster. Karena tidak semua orang mampu
menerjemahkan dan memahami pesan visual yang ditampilkan. Itu sebabnya banyak
reklame dan baliho sering disertai dengan pesan kalimat singkat untuk
memudahkan dalam pemahaman dan membaca pesan.
5. Menurut
Alberta
Berbeda pendapat dengan Alberta. Ia mendefiniskan
lebih kritis terhadap dunia literasi. Dimana ketika seseorang membaca dan
menulis, selain mendapatkan pengetahuan, juga mengasah ketrampilan, berfikir
kritis terhadap masalah yang ada.
Karena bagaimanapun juga, memiliki kemampuan
literasi juga akan memberikan banyak keuntungan bagi individu sendiri. Misalnya
memiliki wawasan lebih luas. Semakin luas wawasan, tentu saja semakin terbuka
dalam mengahdapi masalah, konflik ataupun dalam menyikapi masalah kehidupan.
6.
Menurut Cardon
Mengartikan sebagai sumber ilmu yang sifatnya
membangun imajinasi individu tersebut. Tidak hanya itu saja, literasi juga
diartikan oleh Cordon sebagai sarana untuk menjelajahi dan mencari ilmu
pengetahuan. Tentu saja ilmu pengetahuan yang akan mempengaruhi banyak hal dan
mengubah hal baru dari individu tersebut.
7.
Menurut Goody dan Kern
Goody mengartikan literasi sebagai kemampuan
membaca dan menulis. Beda dengan Kern yang mendefinisikan literasi memiliki 7
prinsip pendidikan. Dimana ketujuh prinsip tersebut meliputi interpretasi,
kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri
dan penggunaan bahasa. Dimana ketujuah prinsip tersebut saling berpengaruh.
Itulah beberapa pegnertian literasi menurut
beberapa ahli dan lembaga. Dari banyak pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa secara garis besar, artinya sama. yaitu kemampuan untuk membaca, menulis
dan membangun komunikasi.
Selain memahami pengertian literasi, ada beberapa
hal penting yang sering diabaikan oleh pengiat literasi. Yaitu bagaimana
mengemas dan mengajak masyarakat sadar akan pentingnya literasi untuk membangun
peradaban dan meningkatkan kemajuan dari berbagai sektor.
Terutama untuk sektor pendidikan, perekonomian
dan intelektual. Nah, dari pengertian literasi di atas, diharapkan semakin
banyak pejuang literasi atau masyarakat yang sadar akan pentingnya literasi.
Apakah Anda setuju dengan pernyataan pada miskonsepsi
berikut. Berikan alasannya!
1) Anak yang bisa membaca saat lulus
PAUD berarti perkembangan literasinya bagus.
Jawab:
Perkembangan literasi pada anak usia sampai 8 tahun
adalah kemampuan anak menerima informasi lisan dengan tepat, menyampaikan ide,
gagasan dengan cara berbicara runut dan pilihan kata beragam. Anak selesai
pendidikan di PAUD yang sudah membaca lancar, sebagian besar masih perlu
dibantu untuk memahami bacaan lisan disebabkan urutan stimulasi keterampilan
berbahasa tidak sesuai dengan urutan yaitu menyimak, berbicara, menulis dan
membaca. Aspek lain yang mempengaruhi adalah stimulasi pengetahuan bahasa yang
dimulai dari visual bunyi (huruf) yang seharusnya dimulai dari bunyi ( fonem,
nada, jeda, tekanan dan tempo.
2) Cara mengukur perkembangan literasi
adalah dengan tes baca tulis saat masuk SD.
Jawab:
Perkembangan literasi pada anak usia di bawah 8 tahun
seharusnya dilakukan dengan bahasa lisan dalam bentuk tanya jawab. Untuk
mengecek pengetahuan bunyi bahasa dilakukan dengan cara mengecek bunyi yang
dikenal. Keterampilan menulis dilihat dari kemampuan meggunaan alat tulis dan
ide yang dituangkan dalam bentuk gambar.
3) Siswa SMP kurang minat baca karena
lebih tertarik dengan gawai.
Jawab:
Sebagian besar anak lebih tertarik
dengan gawai karena tidak mendapatkan keterampilan membaca untuk belajar.
Keterampilan membaca untuk belajar perlu dilatihkan dan diulang pada semua mata
pelajaran. Anak dilatih mulai dari memilih buku, aneka teknik membaca,
dimodelkan dan diberikan aneka jenis tema untuk dibaca.
Keterampilan
berbahasa terdiri dari keterampilan reseptif dan produktif. Keterampilan
reseptif terdiri dari keterampilan menyimak untuk bahasa lisan dan keterampilan
membaca untuk bahasa tulis (teks). Keterampilan produktif terdiri dari
keterampilan berbicara untuk bahasa lisan dan keterampilan menulis untuk bahasa
teks.
Keterampilan
berbahasa pada murid, dimulai dari berbahasa lisan. Pada awal masa perkembangan
murid menyerap bahasa dari bunyi yang diterima. Dari perkembangan struktur dan
fungsi otak manusia mulai merespon bunyi sejak di kandungan sekitar usia 5
bulan. Pada saat itu, alat pendengaran janin sudah mulai bekerja. Dilihat dari
fungsi organ pendengaran, dapat dikatakan bahwa bahasa reseptif secara
potensial dimulai dari janin.
Ketika
bayi lahir, dipastikan ia menangis. Pada saat bayi menangis, ia mengeluarkan
suara sebagai indikator organ artikulasi bekerja dengan baik. Organ artikulasi
akan memproduksi bunyi untuk berkomunikasi. Sejalan dengan kematangan organ
artikulasi murid menyimak aneka bunyi dan mulai membedakan bunyi bermakna.
Kemampuan berbicara dimulai dengan produksi bunyi. Makna bunyi yang pertama
diproduksi murid adalah nada. Sejalan dengan perkembangan bicara murid mulai
mengucapkan kata yang dimulai dari suku kata, lalu kata sederhana. Saat itulah
murid belajar keterampilan menyimak dan berbicara. Inilah yang disebut tradisi
kelisanan yang akan menjadi dasar keterampilan berbahasa tulis (teks). Secara
berurut perkembangan keterampilan berbahasa adalah sebagai berikut:
Perkembangan
keterampilan dengan urutan ini terjadi mulai dari 0 tahun hingga usia 8 tahun.
Berdasarkan urutan perkembangan ini, maka pada awal belajar bahasa murid mulai
dari mengenal bunyi. Setiap bahasa memiliki struktur bunyi yang khas. Demikian
juga dengan bahasa Indonesia. Pada saat seseorang belajar berbahasa hal yang
pertama dilakukan adalah mengenal karakteristik bunyi bahasa tersebut. Pada
Bahasa Indonesia, terdiri dari 6 bunyi vokal tunggal dan 4 gugus vokal
(diftong). Ada 27 bunyi konsonan Bahasa Indonesia. Bunyi vokal dan
konsonan disebut fonem segmental, artinya bunyi yang dapat dibagi-bagi.
Karakteristik bahasa Indonesia, unsur suprasegmental berfungsi pada tataran
kalimat.
Seseorang
berkomunikasi dengan bunyi dilakukan dengan aktivitas berbicara, yaitu proses
produksi bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat wicara (organ artikulasi).
Rangkain bunyi yang bermakna yang disebut bahasa. Pada saat seseorang
berbicara, ia menggunakkan bahasa lisan untuk berkomunikasi. Bahasa lisan
dan verbal (bicara) merupakan ciri manusia yang unik. Kedua kemampuan tersebut
juga sangat berkaitan dengan proses berpikir (Sidiarto Kusumoputro, 1992).
Kemampuan berbahasa memenuhi kebutuhan penting lain dalam kehidupan; yaitu
kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial.
Keterampilan
berbahasa terdiri dari reseptif dan ekspresif. Keterampilan bahasa reseptif
adalah kemampuan seseorang memahami pesan lisan. Dalam menyampaikan informasi
secara verbal kepada pihak penerima pesan maka pengirim pesan harus memiliki
kemampuan berbicara yang baik, yang meliputi ketepatan pelafalan dan penggunaan
nada, jeda dan tempo yang tepat. Kemampuan menyampaikan pesan yang tepat ini
disebut keterampilan ekspresif. Pada komunikasi tulis tampak pada penggunaan
tanda baca dan huruf kapital.
Pada
saat murid-murid belajar berbahasa pada saat yang sama ia juga belajar
pengetahuan bahasa. Ada lima komponen pengetahuan bahasa yaitu: fonetik,
semantik (makna), kalimat, kata dan pragmatik (wacana) (Otto; 2015).
- Fonetik
Fonetik
adalah hubungan simbol dan bunyi. Fonem adalah unsur terkecil yang berbentuk
bunyi yang dapat membentuk makna. Setiap bahasa memiliki struktur fonem yang
khas.
- Semantik
Semantik
adalah makna yang terkandung pada kata. Ada makna yang mirip, berlawanan, dan
persamaan.
- Kalimat
Kalimat
adalah susunan kata yang memiliki makna yang utuh. Pada penulisan diawali
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik.
- Kata
Kata
adalah gabungan dari bunyi yang merujuk pada satu makna. Kata terdiri dari kata
asal dan berimbuhan. Proses pembentukan kata pada setiap bahasa bersifat khas.
Pada bahasa Indonesia perubahan kata dengan imbuhan dapat mempengaruhi makna
dan kelas kata. Kata tulis (verba) bermakna kegiatan
Kata
tulis + an menjadi tulisan (nomina) bermakna hasil tulisan
- Pragmatik
Telaah
makna yang berkaitan dengan konteks pembicaraan disebut pragmatik. Pragmatik
dimulai dari komunikasi lisan yang paling sederhana yaitu dari gerak, mimik,
bunyi dan kata. Pada bahasa teks pragmatik dimulai dari tataran wacana yang
berwujud paragraf.
Perkembangan
pengetahuan bahasa berproses dari tiga fase:
- Fase pengetahuan bahasa:
Pengetahuan komponen linguistik yang terdiri dari bunyi (fonem), kata,
kalimat, makna (semantik) dan pragmatik.
- Fase Pengetahuan Metalinguistik
: Kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan bahasa secara sadar dalam
berkomunikasi lisan dan tulisan.
- Fase Aplikasi Pengetahuan
Metalinguistik: Kemampuan seseorang dalam menerapkan komponen linguistik
pada saat berkomunikasi lisan dan teks (tulisan/gambar) sesuai dengan
pembaca/pendengar, tujuan dan konteks.
Perkembangan proses berpikir dapat
dilihat dari perkembangan otak yang merupakan perubahan struktur dan fungsi
otak sesuai dengan usia individu. Perkembangan otak juga dapat diartikan
sebagai proses berkelanjutan yang dimulai pada masa kehamilan minggu ketiga
dengan diferensiasi pada sel saraf progenitor (sel yang belum memiliki fungsi
yang spesifik) dan berkembang menuju kepada pembentukan sel saraf yang
spesifik selama kehidupan, untuk dapat mengolah informasi dari lingkungan
secara spesifik.
Faktor
yang mempengaruhi perkembangan otak adalah proses pembentukan molekul gen yang
memerlukan nutrisi yang cukup dan stimulus untuk memacu terbentuknya
konektifitas antar sel saraf (wiring system), memicu timbulnya diferensiasi
struktur dan fungsi saraf yang baru.
Perkembangan
otak terus berlangsung sampai periode postnatal. Ukuran otak meningkat empat
kali lipat selama periode pra sekolah, mencapai 90% dari volume orang dewasa
saat usia 6 tahun. Namun perubahan structural gray matter dan white matter akan
berlangsung sampai dengan dewasa serta perubahan paralel struktur fungsional
yang tercermin pada perilaku dan pembelajaran. Selama periode postnatal awal,
tingkat konektivitas di seluruh bagian otak berkembang jauh melebihi orang
dewasa.
Numerasi
Dari sebuah catatan sejarah, istilah dan konsep
numerasi atau numeracy pertama kali diperkenalkan di sebuah laporan
bernama Crowther Report pada tahun 1959 (Cockcroft Report, 1982). Pada
catatan ini numerate didefinisikan sebagai 'a word to represent the mirror
image of literacy'. Numerasi mengandung dua hal yaitu kemampuan untuk
menggunakan keterampilan matematika di dalam kehidupan sehari-hari dan
kemampuan mengapresiasi dan memahami informasi yang disajikan dalam istilah
matematika seperti tabel, grafik atau yang lainnya (Cockcroft, 1982).
Programme for International Student Assessment
(PISA) menggunakan istilah literasi matematika yang tidak lain adalah
numerasi. PISA menyatakan bahwa literasi matematika atau numerasi adalah
kemampuan individu untuk bernalar secara matematis dan memformulasikan,
menggunakan dan menginterpretasikan matematika untuk menyelesaikan masalah di
berbagai konteks dunia nyata (OECD, 2018). Hal ini mencakup konsep, prosedur,
fakta maupun alat matematika yang digunakan untuk menjelaskan fenomena.
Kemampuan numerasi dapat membantu individu untuk memahami peran matematika
dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini juga
sejalan dengan definisi yang digunakan oleh Australian Curriculum, Assessment
and Reporting Authority (ACARA) yang menyatakan bahwa numerasi adalah
kemampuan, keterampilan dan disposisi yang dibutuhkan murid untuk menggunakan
matematika pada situasi yang lebih luas (ACARA, 2013). Di kurikulum Australia
sendiri numerasi merupakan salah satu kemampuan umum yang harus dimiliki murid.
Murid dikatakan memiliki kemampuan numerasi yang baik jika mereka dengan
percaya diri dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan
matematika di bidang lainnya dan dalam lingkup kehidupan yang lebih luas.
Menurut Geiger, Good dan Forgasz (2015), numerasi
adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan kemampuan
yang dibutuhkan untuk mengakomodasi tuntutan matematika dalam kehidupan pribadi
dan sosial serta untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat sebagai warga
negara yang terinformasi, reflektif dan berkontribusi. Numerasi berbeda dengan
matematika, juga bukan sebagai alternatif matematika. Matematika merupakan
sesuatu yang abstrak. Sementara numerasi menekankan pada sesuatu yang konkret
dan kontekstual, serta menawarkan solusi terhadap permasalahan dunia nyata
(Steen, 2001). Selain itu, menurut Askew dan Askew (1997) numerasi adalah
kemampuan untuk memproses, mengkomunikasikan dan menginterpretasikan informasi
numerik dalam berbagai konteks.
Numerasi merupakan kemampuan seseorang untuk
menggunakan konsep maupun prosedur matematika dalam menyelesaikan permasalahan
sehari-hari pada berbagai konteks yang relevan sebagai individu dan warga
negara Indonesia dan dunia (Pusmenjar, 2020).
Hal ini terkait
dengan bagaimana seseorang
menggunakan pengetahuan matematikanya untuk
menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan terkait dengan hal-hal yang muncul
dalam kehidupan sehari -hari.Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung
di dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi
kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita. Kemampuan ini ditunjukkan dengan
kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika
secara praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk
pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis,
misalnya grafik, bagan, dan tabel.
Dalam penerapannya, numerasi haruslah bersifat
kontekstual. Hal ini misalnya dapat disesuaikan dengan permasalahan sehari-hari
yang dihadapi oleh murid, menyesuaikan dengan kondisi geografis, sosial budaya
atau ekonomi di mana konteks tersebut diangkat. Dalam penerapannya di
Indonesia, penerapan numerasi diharapkan dapat dilandaskan pada cakupan
matematika yang terdapat pada kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan. Dalam
pengembangkan kemampuan numerasi yang optimal, numerasi juga diharapkan dapat saling
bergantung dan memperkaya unsur-unsur literasi lainnya.
Seperti yang dibahas pada bagian miskonsepsi
sebelumnya, numerasi dan matematika adalah dua hal yang berbeda tetapi
berkaitan satu dengan yang lainnya. Numerasi bersifat praktis dan dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini dapat diamati bahwa cakupan
numerasi sangat luas, tidak hanya di dalam mata pelajaran matematika.
Merrilyn
Goos mengembangkan sebuah model numerasi yang terdiri dari beberapa elemen
seperti pada tabel berikut ini (Goos, Dole, & Geige, 2012).

Pada
tabel di atas ada lima elemen penting numerasi yang dijabarkan oleh Goos.
Kesemua elemen tersebut adalah elemen yang penting dan dapat mendukung
pengembangan kemampuan numerasi murid Bapak Ibu di sekolah. Sementara itu, Kemp
dan Hogan (2000) juga menambahkan bahwa seseorang yang melek numerasi
seharusnya memiliki pengetahuan matematika, pengetahuan kontekstual dan
pengetahuan strategi. Dari penjelasan ini Bapak Ibu dapat melihat beberapa hal
yang perlu menjadi perhatian dalam mengembangkan kemampuan numerasi murid Bapak
Ibu. Tidak hanya pengetahuan matematika saja, tetapi aspek pendukung lainnya.
Konteks atau permasalahn kontektual akan dibahas lebih jauh pada bagian
berikutnya.
https://numeracyguidedet.global2.vic.edu.au/evidence-base/
Salah
satu hal penting yang juga perlu untuk dibahas lebih lanjut karena berkaitan
erat dengan numerasi adalah masalah kontekstual. Nah apa sih sebenarnya masalah
kontektual itu?
Konteks
dan masalah kontekstual merupakan komponen yang penting dalam numerasi. Konteks
bukanlah merupakan hal yang baru dalam kegiatan pembelajaran. Konteks memegang
peranan yang penting dalam menjembatani murid untuk memahami suatu konsep. Dalam
pembelajaran matematika misalnya, konteks berperan dalam membantu murid untuk
memahami dan memperkuat suatu konsep matematika. Secara khusus, dalam
pembelajaran matematika realistik konteks menjadi unsur penting dalam membangun
pemahaman matematika murid. Konteks digunakan di awal pembelajaran untuk
membangun pemahaman konsep matematika murid. Berikut ini adalah salah satu cara
mengkonstruk konsep matematika murid dari masalah kontekstual.

Konsteks Numerasi
Masalah
konteks mengacu pada situasi yang nyata bagi murid, situasi yang tidak hanya
berasal dari kegiatan sehari-hari murid tetapi juga dari masalah matematika
formal yang nyata dalam pikiran murid (Gravemeijer & Doorman, 1999).
Konteks khusus di mana tugas matematika terletak mampu menentukan tidak hanya
kinerja umum tetapi pilihan prosedur matematika (Lave, 1988). Selain itu,
karena karakteristik matematika yang abstrak, konteks membantu murid untuk
menghubungkan fenomena dunia nyata dengan penggunaan matematika abstrak
(Boaler, 1993; Gravemeijer & Doorman, 1999).
Selanjutnya,
ada keyakinan bahwa konteks sehari-hari lebih mudah daripada konteks yang
abstrak (Boaler, 1993). Artinya dengan menggunakan matematika konteks
sehari-hari dapat membantu murid belajar matematika lebih bermakna. Karena
konteks sehari-hari berkaitan dengan kehidupan mereka dan situasi dunia nyata,
yang lebih mudah dipahami. Ada hubungan timbal balik antara
konteks dan matematika dalam implementasinya. Murid diharapkan
membantu murid untuk menghubungkan masalah konteks dan konsep matematika serta
menerapkannya pada masalah atau tugas lain yang berbeda (Boaler, 1993).
Menurut Boaler (1993), konteks memiliki dua peran utama. Pertama, konteks dapat
membantu murid untuk menghubungkan situasi dunia nyata dan matematika mereka.
Kedua, konteks berguna untuk memotivasi murid agar belajar matematika lebih
menarik dan atraktif.
Penggunaan
konteks atau masalah kontekstual yang bermakna tentu akan membantu murid untuk
mengembangkan kemampuan numerasinya dengan baik. Guru sebaiknya banyak
menghadirkan permasalahan-permasalahan kontektual untuk membantu murid memahami
kebermanfaatan matematika dalam kehidupannya sehari-hari. Steen (2001)
mengatakan bahwa mustahil seseorang dapat memahami matematika dengan baik jika
ia tidak sendiri gagal dalam mengenal kebermanfaatan matematika dalam kehidupan
sehari- hari. Adapun cara lain untuk membuat murid mahir menggunakan
matematika adalah dengan memberikan permasalahan matematika sehari-hari
setelah murid memahami matematika formal untuk menyelesaikan
masalah dunia nyata. Penggunaan numerasi akan kentara saat menyelesaikan
masalah dunia nyata yang komplek dan diselesaikan dengan pemodelan (matematika)
seperti pada bagan di bawah ini. Jika murid tidak dikenalkan dengan masalah
dunia nyata maka akan sulit mengenali matematika apa yang bisa digunakan untuk
membantu menyelesaikannya.
Transfer dunia
nyata ke matematika
Pada bagan di bawah ini murid disajikan
permasalahan dunia nyata kemudian mentransfernya ke dalam bentuk matematika.
Murid membuat asumsi, memformulasikan solusi yang tepat untuk permasalahan
tersebut hingga diperoleh solusi yang tepat. Tidak sampai di situ, murid
kemudian mentrasfer kembali solusi tersebut sesuai dengan kenyataan dari
permasalahan yang diberikan, memberikan kesimpulan sesuai dengan konteks awal
yang disajikan. Solusi suatu masalah tidak hanya berupa bilangan akhir sebagai
hasil perhitungan, tetapi harus disesuaikan kembali dengan konteks

Intuisi Bilangan
(Number Sense)
Salah komponen penting juga yang perlu dibahas
terkait dengan numerasi adalah kepekaan terhadap bilangan atau yang dikenal
dengan intuisi bilangan. Intuisi bilangan sejauh ini belum banyak menjadi
perhatian dalam pembelajaran matematika di Indonesia. Kepekaan terhadap
bilangan perlu untuk ditumbuhkan sejak dini kepada murid. Kepekaan terhadapa
bilangan terkait dengan bagaimana murid memahami makna bilangan yang
sesungguhnya. Murid memahami makna dari bilangan 5 misalnya dengan
menggambarkannya dengan lima buah apel, lima buah jeruk, lima batang pensil dan
sebagainya. Memiliki kepekaan terhadap bilangan akan membantu murid untuk
mengembangkan kemampuan numerasinya.
Sebagai contoh juga ketika murid mampu
memperkirakan atau mengestimasi nilai suatu bilangan dan ini banyak ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya murid memperkirakan berapa uang yang
harus dibawanya untuk berbelanja di sebuah toko tanpa harus terlebih dahulu
menghitung dengan seksama harga barang-barang yang akan dibelinya. Karena dalam
prakteknya di kehidupan sehari-hari terkadang perhitungan matematika yang
presisi tidak benar-benar diperlukan dan hanya membutuhkan estimasi atau
pembulatan. Konteks yang berbeda seringkali membutuhkan jawaban akhir yang
berbeda dan di sinilah kemampuan estimasi perlu digunakan oleh murid.
Numerasi sangat penting dikembangkan di diri
murid tidak hanya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan matematika dalam
kehidupan sehari-hari tetapi diharapkan juga akan memberikan manfaat untuk
aspek yang lebih luas seperti untuk bangsa dan negara. Murid atau warga yang
numerat akan kritis menanggapi berita yang mengandung data ataupun fakta. Hal
ini akan membantu pengurangan dampak penyebaran isu atau berita hoax.
Numerasi tidaklah sama
dengan kompetensi matematika. Keduanya berlandaskan pada pengetahuan dan
keterampilan yang sama, tetapi perbedaannya terletak pada pemberdayaan
pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pengetahuan matematika saja tidak
membuat seseorang memiliki kemampuan numerasi. Numerasi mencakup keterampilan
mengaplikasikan konsep dan kaidah matematika dalam situasi riil sehari-hari.
Saat permasalahannya sering kali tidak terstruktur, memiliki banyak cara
penyelesaian, atau bahkan tidak ada penyelesaian yang tuntas, serta berhubungan
dengan faktor. 1. numerasi itu sebuah hal yang harus dituntaskan dengan akal
dan logika yang sepadan dengan konteks yang dihadapi, selain itu pula
pemecahannya adalah dengan cara berhitung. 2. sangat penting karena masa dewasa
anak SMA sangat penting dalam hal menemukan hal pasti dalam kehidupannya
melalui angka.
Modul 2 Implementasi Literasi dan Numerasi Dalam Pembelajaran
Perkembangan
Proses Berpikir
Perkembangan otak memiliki hubungan dengan
perkembangan murid, terutama dalam proses belajar. Hal ini dikarenakan
perubahan pada struktur dan fungsi otak sejalan dengan bertambahnya usia murid,
dimana untuk menilai perkembangan murid dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut merupakan perwujudan
dari manifestasi kematangan pertumbuhan otak pada piramida perkembangan otak
murid, yang menempatkan ketiga aspek tersebut berada di puncak piramida. murid
tidak dapat mencapai pertumbuhan ketiga aspek tersebut jika kesembilan belas
aspek di bawahnya tidak matang atau siap.
Ketidakmatangan atau ketidaksiapan dari
kesembilan belas aspek akan mempengaruhi kesiapan murid untuk belajar. Sembilan
belas aspek ini yang merupakan potensi dalam diri murid yang harus distimulasi
untuk menjadi kompetensi yang dapat digunakan oleh murid untuk proses
belajar.

Perkembangan
proses berpikir
murid dapat dikatakan siap belajar jika sudah
memiliki kesembilan belas komponen yang berada di piramida perkembangan otak,
dan 5 domain modal belajar, yaitu atensi, memori, visuospasial, literasi
(bahasa), dan fungsi eksekutif. Kelima domain tersebut dapat siap jika murid
mendapatkan proses pembelajaran melalui pengulangan yang akan menjadi kebiasaan
yang dapat dimunculkan oleh murid. Bagian otak yang berfungsi pada proses
pembelajaran ini adalah limbic system (emosi), yang dilakukan dengan memberikan
kenyamanan rasa senang pada saat murid belajar yang juga akan merangsang
perhatian murid pada sesuatu yang menyenangkan (atensi), dimana terlibat
bagian-bagian otak depan (Frontal dan Prefrontal/keputusan), di samping
(temporal/bahasa) bagian atas (paretal/sensori) dan bagian belakang
(occipital/warna, bentuk) yang saling dihubungkan melalui proses pembelajaran
yang diperkaya (asosiatif) untuk membangun suatu persepsi.

Dalam proses menuju kesiapan belajar, banyak
bagian dan struktur otak yang berkembang, namun tidak hanya struktur otak saja
yang berkembang alat indera sebagai penerima rangsang pertama pun harus matang.
Karena alat indera merupakan pintu masuknya informasi dari lingkungan luar.
Setelah informasi dari luar masuk akan diteruskan ke bagian otak sesuai dengan
alat indera yang menerima informasi tersebut, lalu akan terjadi proses
informasi di otak. Informasi yang telah diproses di otak setelah selesai diolah
akan dikeluarkan sebagai output sesuai dengan fungsinya.
Pada
usia 0-6 tahun perkembangan bahasa yang lisan lebih diutamakan. Pengetahuan
bahasa dilatihkan dalam komunikasi lisan. Saat murid dibacakan buku dengan cara
yang tepat mulai dari pelafalan huruf, nada, tempo dan jeda, memberikan
kesempatan murid untuk belajar pengetahuan bahasa pada kegiatan menyimak dan
berbicara. Indikator bahwa murid pada usia tersebut perkembangan menyimak
berjalan baik adalah sebagai berikut:
- murid mampu membedakan bunyi:
murid
usia 0-2 tahun mampu mengenali suara orang yang dikenalnya. Bayi menangis serta
merta tenang saat mendengar suara orang yang sering bersamanya. Perilaku ini
memberikan informasi bahwa sejak dini murid mampu membedakan bunyi.
- murid mampu mengenali komponen
bahasa:
murid
2-4 tahun murid mulai ikut bernyanyi. Ia mengangguk-anggukan kepala atau
menggoyang-goyangkan anggota badan sebagai respon dari lagu yang diminati.
murid tertarik dengan dongeng dan mulai fokus saat dibacakan buku. Perilaku
murid saat merespon lagu dan cerita menunjukkan ia mulai mengenali komponen
bahasa yang paling dasar yaitu bunyi (fonem). murid mulai mencoba mengucapkan
beberapa kata berupa potongan-potongan suku kata. Ia mulai merespon saat
dipanggil namanya. Inilah tanda-tanda murid mengenali komponen bahasa.
- murid menangkap isi tuturan
lisan:
Pada
saat orang tua berdialog dengan murid, tampak murid memberikan respon, misalnya
dengan mengajukan pertanyaan,tersenyum, mengernyitkan dahi atau berlari
meninggalkan pembicaraan. Semua respon yang dilakukan murid adalah tanda ia
memahami tuturan lisan. Pada saat murid tersenyum menunjukkan ia setuju dengan
pernyataan orang tua. Pada saat murid meninggalkan orang tua, ada beberapa
kemungkinan, murid tidak menyukai topik yang dibicarakan, pilihan kosa kata
yang tidak dipahami atau durasi terlalu panjang. Orang dewasa perlu bertanya
dan melakukan pengamatan.
Pada
usia 0-6 tahun kegiatan berbahasa teks sedang dalam persiapan, baik kegiatan
berbahasa reseptif (membaca) dan kegiatan berbahasa produktif (menulis).
Untuk
kegiatan membaca murid mulai dari menyebutkan nama-nama dari kegiatan
multisensori. murid menyebutkan nama-nama benda yang dilihat, mengenali rasa
dan aroma. Saat inilah kosa kata murid berkembang pesat. Latihan ini akan
berkembang ke teks dua dimensi (gambar). murid-murid mulai membandingkan benda
yang pernah diindra dengan gambar. Saat itulah murid berkembang dari menyebut
nama dan istilah ke persepsi gambar. Inilah proses membaca gambar yang
merupakan proses pra membaca.
Pada
saat usia 6-12 tahun perkembangan pengetahuan bahasa mulai berkembang dalam
proses komunikasi baik komunikasi lisan maupun teks. murid-murid mulai memilih
kata dan nada sesuai dengan tujuan pembicaraan. Pada saat membaca murid mulai
menghubungkan apa yang dibaca dan apa yang dipikirkan. Inilah masa perubahan
dari keterampilan kelisanan ke keterampilan teks.
Pada
murid-murid yang tidak memiliki dasar keterampilan kelisanan yang kuat,
memerlukan perjuangan yang bermakna. murid akan berupaya mencari makna dari
bacaan. Perilaku yang tampak adalah murid banyak bertanya, kosa kata terbatas
dan kesulitan menangkap informasi dari bahasa teks. Pada awal pembelajaran di
Sekolah Dasar (SD) keterampilan kelisanan perlu dikuatkan dan diintegrasikan
dengan berbagai tema dan ragam teks. murid perlu diberikan keterampilan membaca
yang berupa keterampilan menghubungkan isi bacaan dengan dirinya, antar teks
dan kondisi lingkungan sekitar. Pemberian bacaan yang bertahap dan beragam
serta strategi yang kaya akan proses bertanya akan membantu murid berproses
menjadi pembaca yang mandiri.
Pada
usia 12 tahun ke atas proses perkembangan literasi terjadi perubahan. murid
sudah mulai menggunakan dua kecakapan untuk mendapatkan informasi sesuai dengan
kebutuhan. Informasi auditori, visual dan visual auditori dipahami lalu
dituliskan dan dibicarakan.
Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di beberapa
daerah terdapat beberapa praktik, mulai dari praktik baik sampai miskonsepsi
praktik. Proses pelaksanaan program literasi di sekolah, dilaksmuridan sesuai
dengan pemahaman SDM dan prasarana yang ada. Salah satu tanda sekolah telah
melaksanakan program GLS adalah adanya pojok baca dan pohon literasi.
Beberapa sekolah menyusun program dengan melihat praktik
baik yang ada di lembaga lain. Harapannya dengan meniru praktik baik yang ada
GLS dapat berjalan sebagaimana yang terjadi pada satu sekolah. Fakta
menunjukkan banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan program GLS di
sekolah. Salah satu komponen yang sering luput saat perencanaan program adalah
informasi profil perkembangan literasi murid siswa. Program yang tersusun baik
ketika diterapkan tanpa memperhitungkan profil perkembangan tentu hasilnya
tidak sesuai harapan.
Salah satu cara untuk mendapatkan profil perkembangan
literasi siswa, kam telah melaksanakan dengan cara yang sederhana dan mudah
berdasarkan perkembangan literasi murid dilihat dari tiga komponen yaitu:
pengetahuan bahasa, keterampilan berbahasa dan perkembangan proses berpikir
murid. Dari ketiga komponen tersebut dapat diperoleh data perkembangan literasi
yang seharusnya dicapai oleh murid sesuai dengan usianya.
Untuk melaksanakan proses pemrofilan perkembangan
literasi murid dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: kelompok kelas 1-3 SD, kelompok
kelas 4-7 dan kelompok kelas 8-12. Cara pemrofilan ini dapat dilakukan oleh
guru. Pada tingkat sekolah dasar proses pemrofilan bisa dilakukan oleh guru
kelas. Untuk tingkat SMP dan SMA bisa dilakukan oleh wali kelas berkolaborasi
dengan guru bahasa Indonesia. Untuk kelas 8-12 sebaiknya dilengkapi dengan tes
UKBI yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa. Hasil untuk murid SMP adalah pada
predikat semenjana dan level SMA pada predikat madya sesuai dengan aturan
pemerintah.
Proses Pemrofilan Perkembangan Literasi
- Proses
pemrofilan literasi kelas 1-3
Cara
Pemrofilan:
- Sediakan 3 topik yang dekat dengan murid; kegemaran,
makanan kesukaan, tempat yang berkesan.
- Minta murid untuk memilih salah satu topik.
- Ketika murid sudah memilih satu topik, berikan kesempatan
murid bercerita selama satu menit.
- Siapkan alat perekam dan pencatat waktu
Sasaran
Observasi:
- Unsur
pengetahuan bahasa : pilihan kata, kalimat.
- Unsur
keterampilan berbahasa: keterampilan berbicara dilihat dari
nada, tempo, dan jeda.
2. Proses pemrofilan literasi kelas 4-7
Cara Pemrofilan:
- Sediakan 3
topik yang dekat dengan murid; kegemaran, makanan kesukaan, tempat yang
berkesan.
- Minta murid
untuk memilih salah satu topik.
- Siapkan alat pencatat waktu
- Ketika murid
sudah memilih satu topik, berikan kesempatan murid menulis selama 5 menit.
Sasaran Observasi:
- Unsur pengetahuan bahasa : pilihan kata, kalimat.
- Unsur keterampilan berbahasa: menulis dilihat dari aturan bahasa tulis yaitu penggunaan
tanda baca dan huruf kapital.
3. Proses Pemrofilan kelas 8-12
Cara Pemrofilan:
- Sediakan 5 topik
yang dekat dengan murid; kegemaran, makanan kesukaan, tempat yang berkesan,
peminatan, buku/film yang paling berkesan.
- Minta murid untuk memilih suatu topik.
- Siapkan alat pencatat waktu.
- Ketika murid
sudah memilih satu topik, berikan kesempatan murid menulis selama 3 menit.
Sasaran Observasi:
- Unsur pengetahuan bahasa: pilihan kata, kalimat,
paragraf, tata bahasa.
- Unsur keterampilan berbahasa: menulis dilihat dari penggunaan tanda baca, penggunaan huruf kapital dan keruntutan kalimat dalam
paragraf.
Proses Analisis Hasil Pemrofilan
1. Profil
kelas 1-3
Cara membaca data:
- Dengarkan rekaman.
- Siapkan instrumen observasi.
- Kata : Kata: pilihan
kata sesuai topik; kalimat tampak pada jeda; nada menunjukkan jenis kalimat dan
tempo untuk kejelasan informasi.
- Rentang nilai 1= kurang sesuai; 2=sesuai; 3=sangat sesuai
2. Profil kelas 4-7
Cara membaca data:
- Bacalah hasil tulisan murid.
- Siapkan insrumen observasi.
- Kata: pilihan kata konsep-kata tugas; kalimat:
diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik; tanda baca lain
sesuai kebutuhan (koma, tanda tanya).
- Rentang nilai 1= kurang sesuai; 2=sesuai; 3=sangat
sesuai.
3. Profil
kelas 8-12
Cara membaca data:
- Bacalah hasil tulisan murid.
- Siapkan instrumen observasi.
- Kata: pilihan kata konsep-kata tugas; kalimat:
terdapat unsur subyek dan predikat; tanda baca lain sesuai kebutuhan
(koma, tanda tanya, tanda seru, tanda kutip).
- Rentang nilai 1= kurang sesuai; 2=sesuai; 3=sangat sesuai.
Konsep Miskonsepsi Implementasi Literasi dalam
Pembelajaran
Halo,
Sahabat Guru Belajar!
Masalah
implementasi literasi dalam pembelajaran masih sering menjadi bahan keraguan,
perbedaaan, bahkan perdebatan di kalangan guru dan tenaga kependidikan. Mengacu
pada perspektif literasi yang telah dibahas di Modul 1, mari kita renungkan
kembali beberapa anggapan keliru yang masih umum terdapat dalam
implementasi pembelajaran, yaitu:
Literasi harus diajarkan secara
terpisah.
Pembinaan keterampilan terkait
bacaan dan praktik berbudaya yang yang menjadi ciri penguasaan literasi
cukup hanya dengan mewajibkan peserta didik membaca 15 menit dalam sehari.
Literasi hanya terkait dengan
pelajaran Bahasa Indonesia (literasi membaca), pelajaran Matematika
(literasi numerasi), dan pelajaran IPA (literasi sains) saja.
Semakin banyak konsep
pengetahuan yang diberikan pada peserta didik akan menjamin tercapainya
tuntutan penguasaan literasi.
Untuk jenjang SMP, pembinaan
literasi sebenarnya telah didorong salah satunya dengan rekomendasi penerapan
model-model pembelajaran Problem Based Learning dan Project Based
Learning dalam Kurikulum Nasional. Jadi, dalam pembelajaran di Indonesia
seharusnya tidak ada perbedaan, apalagi pertentangan, antara pengembangan
kompetensi dalam kurikulum yang sedang diberlakukan dengan implementasi
pengembangan literasi. Hal yang harus menjadi penekanan dalam pengembangan
literasi adalah selalu mengaitkan tuntutan kompetensi dengan hal-hal
kontekstual yang sesuai dengan usia dan kebutuhan peserta didik dalam
kehidupannya.
Strategi
Implementasi Literasi dalam Pembelajaran di SD
Bapak Ibu Guru implementasi
pembelajaran kecakapan literasi pada peserta didik di jenjang
sekolah dasar, dipastikan memberi pengaruh pada tingkatan penguasaan dan
keberhasilan kecakapan literasi di jenjang berikutnya. Oleh karena itu peran
dan keterampilan guru di jenjang sekolah dasar sangat penting dalam
melatih dan menumbuhkembangkan kecakapan literasi.
Pembelajaran berbasis kecakapan harus dilakukan
secara konsisten. Apalagi di jenjang sekolah dasar. Karena kecakapan literasi
bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, namun juga dapat
mengasah daya nalar dan sikap kritis siswa yang berguna untuk semua mata
pelajaran.
Berikut 5 (Lima) strategi untuk pemahaman bacaan
yang diambil dari buku “ Strategies that Work” karya Stephanie
Harvey dan Anne Gouvis:
- Membuat
Hubungan
- Teks
dengan Diri
- Teks
dengan Teks lain
- Teks
dengan Dunia luar
- Mengajukan
pertanyaan
- Sebelum
Membaca
- Saat
sedang Membaca
- Sesudah
Membaca
- Membuat
Visualisasi
- Membuat
gambar dari teks yang dibaca
- Mencari
yang Tersirat (Inferensi)
- Menyimpulkan
dari fakta-fakta yang ada dalam sebuah teks menjadi sebuah pernyataan
baru.
- Menentukan
yang penting
- Mencari
poin-poin penting dari sebuah teks.
- Dibuatkan
Teks baru
- Diwujudkan
dalam Peta Konsep/skema hal-hal penting teks tersebut atau pokok dan
pendukung
Dari Lima strategi tersebut, mari kita pelajari
lebih lanjut strategi yang pertama yakni menghubungkan teks. Apa itu
menghubungkan teks dan bagaimana implementasinya.
Berikut ini adalah 5 (lima) strategi untuk
pemahaman bacaan yang diambilkan dari buku “Strategies that Work”
karya Stephanie Harvey dan Anne Goudvis (2000).
- Membuat Hubungan; yaitu
“membuat jembatan” antara pengetahuan baru dengan yang telah diketahui.
Ada tiga bentuk membuat hubungan dengan teks yang dapat dibangun, yaitu
antara teks dengan diri, teks dengan teks dan teks dengan dunia.
- Mengajukan Pertanyaan; yaitu
mengajukan pertanyaan sebelum, selama, dan setelah membaca untuk membentuk
pengertian, meningkatkan pemahaman, menjelaskan kebingungan, memecahkan
masalah, mendapatkan sekumpulan informasi, informasi baru, maupun
informasi khusus, hingga mendorong usaha-usaha penelitian.
- Membuat Visualisasi;
yaitu berhenti sejenak untuk memikirkan dan memvisualisasikan isi teks
yang dibaca untuk membantu menciptakan citra secara mental dari bentuk
kata-kata, memperkuat hubungan antara pembaca dengan teks, menempatkan
pembaca di posisi dalam teks, serta meningkatkan antusiasme untuk membaca.
- Mencari yang Tersirat
(Inferensi);
yaitu Pemikiran berdasarkan inferensi terjadi ketika petunjuk-petunjuk
dalam teks digabungkan dengan pengetahuan pembaca dan
pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada sebuah kesimpulan mengenai sebuah
tema atau gagasan yang tersirat dalam teks.
- Menentukan Hal yang
Penting;
yaitu menentukan gagasan pokok dalam suatu teks yang otentik dari sebuah
karya fiksi (sastra) maupun non fiksi (naskah ilmiah, sejarah, biografi,
editorial surat kabar, hingga buku perdagangan), untuk meringkas serta
menarik kesimpulan dari berbagai bacaan tersebut, mempelajari informasi
baru dan membangun pengetahuan latar, membedakan antara tema, pendapat dan
sudut pandang, serta menentukan maksud atau pesan penulis teks (memberikan
informasi, membujuk, atau menghibur).
Application
Tujuan
utama pembelajaran literasi membaca adalah agar peserta didik mampu memperoleh
pemahaman yang mendalam dari informasi yang didapatkan. Pembelajaran literasi
membaca ditekankan pada aktivitas peserta didik, agar peserta didik mampu:
- Menganalisis isi teks baik secara eksplisit maupun
implisit
- Menggambarkan inferensi analitis atas teks
- Mengkritisi teks melalui penggunaan logika berpikir
yang benar, serta ditunjang oleh fakta-fakta yang lengkap baik dari dalam
teks maupun luar teks.
- Memproduksi secara kreatif pemahamannya melalui
berbagai media representasional yang bersifat multimoda, multi genre,
multimedia, dan multibudaya
Untuk
mencapai tujuan pembelajaran literasi membaca, proses pembelajaran setidaknya
harus melewati tiga tahapan kegiatan (Abidin dalam Vacca, 2015). Ketiga tahapan
itu adalah aktivitas prabaca, aktivitas membaca, dan aktivitas pascabaca.
1. Aktivitas
Prabaca
Guru
harus mampu mengarahkan peserta didik pada topik pembelajaran yang akan
dipelajari peserta didik. Terkait asumsi dasar ini, aktivitas prabaca adalah
kegiatan pengajaran yang dilaksanakan sebelum peserta didik melakukan kegiatan
membaca.
Beberapa
aktivitas prabaca yang dapat dilakukan guru sebagai berikut:
- Memilih atau menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk membaca
- Memilih teks yang dibutuhkan yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran
- Menyusun pertanyaan pemandu yang terkait dengan teks
- Membangkitkan pengetahuan awal yang berhubungan
dengan topik teks
- Mengarahkan peserta didik untuk membuat pertanyaan
dan prediksi baik yang berkenaan dengan topik ataupun topik secara umum.
2. Aktivitas
Membaca
Setelah
aktivitas prabaca, dilanjutkan dengan kegiatan inti yaitu membaca. Dalam
pandangan pendekatan respons pembaca, aktivitas membaca yang dilakukan berfokus
pada upaya mendapatkan pemahaman secara literal, inferensial, maupun kritis.
Hal ini juga dikorelasikan dengan 3 strategi pembelajaran yaitu: memorisation
strategies, elaboration strategies dan control strategies. Oleh
karena ragam aktivitas membaca lebih banyak berkaitan dengan upaya menganalisis,
membandingkan, dan mengkritik teks.
Beberapa
kegiatan yang bisa dilakukan guru dalam aktivitas membaca ini sebagai berikut:
- Memfasilitasi peserta didik untuk membaca,
menganalisis, dan mengutip teks untuk tujuan tertentu, sambil membangun
pemahaman dalam membaca.
- Mendorong peserta didik untuk menghubungkan
skematanya (baik berupa pengalaman, pengetahuan, sikap, maupun
keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya), teks lain yang pernah
dibaca, serta konteks kehidupan dengan teks yang sedang dibaca.
- Memfasilitasi peserta didik untuk menjawab
pertanyaan yang dibuat (menguji prediksi) dan/atau melakukan kegiatan lain
yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
- Mendorong terciptanya percakapan dan pengalaman yang
kaya dan terikat teks untuk mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.
- Mendorong peserta didik untuk mengkomunikasikan
dengan peserta didik lain terkait hasil kajian dan respons yang dibuatnya.
- Memfasilitasi peserta didik untuk menganalisis
tujuan penulisan teks, mengevaluasi argumen dan bukti-bukti yang dibuat
penulis, serta menemukan makna mendalam dari sebuah teks. proses ini bisa
dilakukan melalui kerja kooperatif ataupun kolaboratif.
3. Aktivitas
Pascabaca
Aktivitas
pascabaca merupakan tahapan pembelajaran literasi yang menguji sekaligus memantapkan
kemampuan berpikir kritis. Pada dasarnya tahap ini adalah tahapan yang
dilakukan untuk merespons, mengeksplorasi, merefleksi, dan mengevaluasi teks
yang telah dibaca. Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dalam tahap
pascabaca antara lain:
- Merespon teks menjadi sebuah proyek atau produk lain
yang menggambarkan kemampuannya menemukan intisari informasi.
- Menganalisis opini dan fakta yang terkandung dalam
teks.
- Mengevaluasi teks berdasarkan pengetahuan awal
atau informasi dari berbagai sumber lain.
- Mengembangkan dan mendukung intisari yang dibuatnya
dengan bukti-bukti yang terdapat dalam
teks.
- Peserta didik juga bisa membuat informasi baru yang
berhubungan dengan informasi yang terkandung dalam teks, berdasarkan hasil
pemahaman baru yang diperolehnya.
- Menilai kebaruan informasi teks (up to date)
yang telah dibaca dan objektivitas informasi dalam teks yang dibaca (tidak
bias, bukan hoak)
Perpustakaan Sekolah,
media internet dan sarana literasi lainnya harus dioptimalkan dengan baik.
Supaya kegiatan Literasi meninggalkan jejak literasi maka seluruh tahapan
membaca harus ada dalam kegiatan Literasi. Penggunaan graphic organizer dalam
kegiatan literasi cukup efektif untuk diterapkan oleh guru supaya dapat
mengetahui perkembangan kemampuan Literasi peserta didik, maka dari itu
diperlukan kolaborasi yang baik antara Kepala Sekolah dan guru.
Modul 3
Sebagai mana kita ketahui bahwa perkembangan
literasi dan numerasi bagi peserta didik Indonesia lima belas tahun terakhir
ini mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan. Hasil tes PISA belum
dapat menunjukkan perkembangan yang sesuai harapan. Gerakan Literasi Sekolah
(GLS) sudah diprogramkan dan diberikan berbagai pelatihan. Dari praktik
penerapan program GLS masing-masing daerah memiliki tafsir yang beragam.
Penafsiran ini berdampak pada pelaksanaan program literasi di sekolah.
Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan
partisipasi aktif di sekolah, keluarga dan masyarakat, guru perlu mengobservasi
untuk memverifikasi program literasi dan numerasi yang sesuai di sekolah,
keluarga dan masyarakat. Setelah menyelesaikan modul 3 ini diharapkan peserta
dapat:
- memperoleh
gambaran miskonsepsi praktik baik yang dilaksanakan di sekolah, keluarga
dan masyarakat,
- memahami
konsep praktik literasi dan numerasi yang sebenarnya di sekolah, keluarga
dan masyarakat dan
- dapat
menganalisis studi kasus literasi dan numerasi di sekolah, keluarga dan
masyarakat.
Rencana Aksi
Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah (1)
Pada rencana aksi literasi dan numerasi di
sekolah, tidak hanya dapat terlihat pada mata pelajaran matematika saja, tetapi
juga dapat teraktualisasi pada mata pelajaran lain.
1. Gerakan literasi
numerasi lintas kurikulum (Numeracy Across Curriculum)
Gerakan literasi numerasi lintas kurikulum (Numeracy
Across Curriculum), yaitu pendekatan penerapan numerasi secara konsisten
dan menyeluruh di sekolah yang sangat mendukung pengembangan literasi dan numerasi
bagi setiap peserta didik. Literasi dan numerasi lintas kurikulum ini
memperkaya pembelajaran mata pelajaran lain dan memberikan kontribusi dalam
memperluas pemahaman numerasi. Implementasi ini tidak hanya oleh guru,
melainkan juga oleh tenaga kependidikan yang sama-sama memajukan literasi dan
numerasi di sekolah, misalnya membuat anggaran untuk kegiatan sekolah yang
sudah dilaksanakan secara rutin.
Rencana Aksi
Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah (2)
2. Pelatihan
Kepala Perpustakaan, Tenaga Perpustakaan, Guru Kelas atau Wali Kelas
Melatih kepala perpustakaan dan tenaga
perpustakaan untuk dapat menampilkan informasi mengenai jumlah peminjam buku
(contoh: berdasarkan genre, gender, dan sebagainya) setiap bulannya dengan
menggunakan diagram lingkaran, tabel, dan grafik, membuat jadwal wajib kunjung
perpustakaan.
Melatih guru kelas untuk jenjang SD dan wali
kelas untuk jenjang SMP, SMA dan SMK dalam mendata pelaksanaan pembiasaan
membaca dan menulis peserta didik di dalam kelas dan di luar kelas (sesuai
Butir Kinerja Inti No. 16 pada IASP 2020), pembuatan jurnal peserta didik yang
menjembatani peserta didik dalam membuat buku.
Rencana Aksi Praktik Literasi dan
Numerasi di Sekolah (3)
3. Meningkatkan sarana prasarana dan
perluasan akses pengembangan Literasi dan Numerasi.
Antara lain : - Menyediakan buku-buku fiksi, non fiksi maupun referensi - Memperluas dalam pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai
media pembelajaran numerasi -
Memfasilitasi pojok baca di setiap kelas dapat terlihat seperti - Membuat pohon literasi di setiap kelas - Papan karya literasi dan numerasi di kelas atau di depan
sekolah - Menumbuhkembangkan kemandirian pada
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada masa pandemi Covid-19 ini, yaitu dengan
membaca nyaring -
Memamerkan hasil karya proyek peserta didik - portofolio peserta didik dapat dipajang di kelas - Melaksanakan duta literasi sekolah.
Rencana Aksi Praktik Literasi dan Numerasi di Sekolah (4)
4. Pembentukan tim literasi sekolah
Pembentukan tim literasi sekolah dengan melibatkan kepala sekolah, pengawas, guru, dan wakil orang tua peserta
didik serta pengalokasian dana untuk pengembangan literasi dan numerasi sesuai
RKAS.
* Rencana Aksi Praktik Literasi dan
Numerasi di Sekolah :
1.
- Gerakan
literasi numerasi lintas kurikulum (Numeracy Across Curriculum)
2.
- Pelatihan
Kepala Perpustakaan, Tenaga Perpustakaan, Guru Kelas atau Wali Kelas
- Meningkatkan
sarana prasarana dan perluasan akses pengembangan Literasi dan Numerasi
4. - Pembentukan
tim literasi sekolah dengan melibatkan kepala sekolah, pengawas, guru, dan
wakil orang tua peserta didik serta pengalokasian dana untuk pengembangan
literasi dan numerasi sesuai RKAS.
Referensi
Abidin, Tita dan Hana (2017) Pembelajaran
Literasi Strategi Meningkatkan Kemampuan Matematika, Sains, Membaca dan
Menulis. Jakarta: Bumi Aksara
Dirjen GTK Kemdikbud. (2017). Bahan Belajar Model
Kompetensi Kepala Sekolah pada Level Berkembang. Jakarta: Kemdikbud
Dirjen GTK Kemdikbud. (2017). Materi Pendukung
Literasi Numerasi. Jakarta:Kemdikbud
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Sidoarjo. (2009). Praktik Baik Pembelajaran Numerasi di Kabupaten
Sidoarjo. Jawa Timur: Program Inovasi untuk peserta didik Sekolah
Indonesia (INOVASI) di Jawa Timur Bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo.
Kern, R.( 2000). Literacy and Language Teaching.
Oxford: Oxford University Press.
Surat Kabar Guru Belajar “Bangun Budaya Literasi
di Sekolah” oleh Wahyuniar - SMPN 4 Pinrang.
Surat Kabar Guru Belajar “Mengenal Pecahan dalam
Kehidupan” oleh Li’lli Nur Indah Sari
Internet :
http://www.darmanreubee.com/2015/11/apa-kabar-dunia-pendidikan-kita.html
https://www.kosngosan.com/2019/05/contoh-pohon-literasi-sd-smp-sma.html
https://sintiyaelfariani.blogspot.com/2018/04/contoh-makalah-laporan-hasil-budi-daya.html
https://www.panduanmengajar.com/2019/04/contoh-sk-tim-literasi-sekolah.html
Modul 3 Literasi Dan Numerasi Di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat
Pemahaman Konsep Literasi dan Numerasi Keluarga
Literasi dan numerasi adalah sebuah
konsep penting yang saat ini dibutuhkan untuk salah satunya peningkatan sumber
daya manusia Indonesia. Dalam konteks saat ini, literasi dan numerasi mencakup
tidak hanya kemampuan membaca, menulis dan juga berhitung. Namun, literasi dan
numerasi dimaknai sebagai kecakapan hidup yang mencakup banyak aspek kehidupan
manusia. Salah satu indikator yang dipergunakan dalam mengukur negara maju
adalah dengan melihat tingkat literasi dan juga kehidupan masyarakatnya. Agar dapat
berdiri sejajar dengan negara-negara maju, perlu adanya upaya serius dalam meningkatkan
literasi dan numerasi bangsa demi menyokong tercapainya kecerdasan kolektif
masyarakat Indonesia (Idrus, Tamrin, & Ramli, 2020).
Terlebih dalam persaingan konteks
global khususnya di bidang pendidikan, literasi dan numerasi dipandang sebagai
kebutuhan yang urgen dikuasai oleh semua pemangku kepentingan, termasuk di
antaranya pemangku kepentingan internal seperti guru, siswa, orang tua, dan
ekosistem sekolah. Namun kenyataannya, masih terjadi banyaknya miskonsepsi yang
terjadi di kalangan masyarakat luas. Secara praktis, miskonsepsi terjadi disebabkan
oleh pemahaman yang berbeda dengan konsep ilmiah yang baku. Miskonsepsi terjadi
ketika seseorang yang tidak menganut konsep ilmiah yang diakui oleh para ahli. Selanjutnya
miskonsepsi menyangkut penyimpangan dari sesuatu yang benar, sistematis,
konsisten atau insidental dalam situasi tertentu. Secara khusus, kesalahpahaman
muncul ketika seseorang memiliki pemahaman yang berbeda tentang konsep ini dan
berbeda dengan pemahaman yang berlaku secara umum dalam komunitas ilmiah (Kose,
2008; Suparno, 2013; Wafiyah, 2012).
Miskonsepsi
terjadi disebabkan belum paripurnanya pemahaman mengenai literasi dan numerasi
itu sendiri. Setiap konsep saling mempunyai keterlibatan antara yang satu dengan
yang lainnya. Semisal jika pemahaman mengenai konsep literasi dan numerasi
sudah berada dalam pemahaman yang utuh, dengan demikian para pemangku
kepentinganbisa melanjutkan dan memahami konsep literasi dan numerasi
berikutnya.
Namun
sebaliknya, kesalahan pemahaman di dalam sebuah konsep dapat mengakibatkan
kesalaham pemahaman konsep-konsep berikutnya. Sayangnya, miskonsepsi inipun
terjadi di dalam literasi dan numerasi dan tidak hanya terjadi di lingkungan
berskala besar namun juga terjadi di lingkungan kecil, dalam hal ini
keluarga.
Konsep
Sebenarnya: Praktik Baik Literasi & Numerasi Di Lingkungan Keluarga
Literasi dan numerasi dapat dimaknai
sebagai kemampuan menalar yang berkait dengan kemampuan analisa, sintesa dan
evaluasi informasi yang bisa ditumbuhkan dengan terintegrasi dalam kegiatan
anak sehari-hari di rumah. Literasi dan numerasi juga perlu dimaknai sebagai pemahaman
terhadap berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika
dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan
sehari-hari. Selain itu, literasi dan numerasi juga terkait dengan kemampuan menganalisis
informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk seperti grafik, tabel, bagan,
dan lain sebagainya lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk
memprediksi dan mengambil keputusan. Secara sederhana, numerasi dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan
operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (Kemendikbudristek, 2021;
literasinusantara.com, 2021).
Berpijak kepada miskonsepsi yang telah
dijabarkan di atas, sebenarnya keluarga juga memiliki peran dalam meningkatkan
literasi dan numerasi siswa. Selain belajar di lingkungan sekolah, lingkungan
keluarga pun menjadi salah satu landasan pembelajaran siswa. Literasi dan
numerasi tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, namun juga keluarga. Salah
satunya dilandaskan kepada perhitungan waktu total dalam satu hari. Jika
dihitung sehari ada 24 jam dan maksimal 8 jam siswa menghabiskan waktu di
sekolah, maka sebenarnya sebagian waktu terbesar siswa dihabiskan di lingkungan
keluarga.
Praktik Baik Literasi dari pemerintah
Menyikapi hasil studi PISA 2018, Mendikbud Nadiem Makarim meminta semua pihak
untuk menjadikan data ini sebagai acuan perbaikan kualitas pendidikan. Pada acara
serah terima hasil studi PISA tanggal 3 Desember 2019 lalu, Mendikbud mengingatkan pentingnya
masukan dari luar. “Kita tidak mungkin mengetahui apa yang harus diperbaiki, apa yang harus
kita lanjutkan, kalau kita tidak mendapat perspektif dari luar, apakah itu dari luar
sekolah kita, luar kelembagaan kita, baik luar negara kita,”.
Lebih lanjut Mendikbud
menyampaikan “Terkait hasil studi PISA 2018 yang mengalami penurunan dari tahun 2015,
Mendikbud berpesan untuk tetap bersikap terbuka dan tidak bersembunyi di balik alasan.
“Tidak perlu dikemas agar menjadi berita yang positif. Tidak perlu. Kita harus punya
paradigma baru dimana semua pemimpin mulai dari kementerian sampai kepala sekolah, kalau ada sesuatu
yang buruk, kita harus jujur dan langsung meng-address dan bergerak.” (Mendikbud
Nadiem Makarim, Kemdikbud.go.id).
Melihat hasil studi PISA ini, tak sedikit yang mempertanyakan peran pemerintah
dalam menangani masalah pendidikan. Banyak pula yang menanyakan sejauh mana usaha
pemerintah Indonesia dalam mengembangkan budaya membaca rakyat Indonesia. Beberapa upaya pemerintah dalam membangun budaya membaca. Telah dilakukan setidaknya
pemerintah telah menerbitkan sedikitnya tujuh payung hukum yang terkait dengan literasi,
diantaranya:
1. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Pasal 4 Ayat 5
2. Undang-undang nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Pasal 48 Ayat 1
3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Sistem Perbukuan Pasal 1 dan 36
4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan UU No.
43 Tahun 2007 Tentang
Perpustakaan Pasal 74
5. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti bagian VI.
6. Standar Nasional Perpustakaan Nasional Tahun 2017
7. Panduan Gerakan Literasi Nasional Tahun 2017
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Budaya membaca, menulis dan berhitung selanjutnya disebut literasi yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2017 Tentang Sistem Perbukuan. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan
untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam pembukaan
undang-undang perbukuan ini juga digambarkan bahwa peradaban bangsa dapat dibangun dengan mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, informasi, dan/atau hiburan
melalui buku yang memuat nilai-nilai dan jati diri bangsa Indonesia. Hal itu, merupakan
upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Melalui pasal ini, pemerintah secara tegas ingin menyampaikan sebuah
pesan bahwa membaca adalah tolak ukur kualitas pendidikan, kawah candradimuka peradaban
umat manusia.
Secara lebih terperinci, pemerintah kembali menegaskan pentingya membangun
budaya membaca dalam Undang-Undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007 Pasal 48 Tentang Pembudayaan Kegemaran Membaca. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa pembudayaan
membaca dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Pembudayaan
kegemaran membaca di keluarga pun
pemerintah tetap turun tangan dengan memfasilitasi buku murah dan berkualitas, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 2.
Pembudayaan kegemaran membaca dalam keluarga melalui fasilitas buku murah dari pemerintah sudah bisa dirasakan sejak tahun 2008 silam. Melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah secara bertahap telah membeli hak cipta (Copy Right)
penulis buku teks pelajaran dari mulai tingkat SD sampai tingkat SLTA. Setelah membeli dan
memeriksa isi, pemerintah selanjutnya mengunggah soft file buku tersebut di website
kemendikbud. Masyarakat boleh mencetak, menggandakan, dan memperjualbelikan dengan catatan
harus sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi yang tercantum di cover belakang buku. Namun, sangat disayangkan, usaha pemerintah dalam memfasilitasi pemberdayaan
membaca melalui buku murah dan berkualitas baru sebatas pada buku-buku teks pelajaran.
Buku-buku non-teks seperti karya umum, sastra, fiksi dan lainnya masih belum sepenuhnya
terlihat dukungan dari pemerintah. Padahal, buku-buku semacam itulah yang paling
dibutuhkan untuk membangun budaya baca masyarakat. Akibatnya, harga buku-buku berkualitas akan
selalu mahal dan memberatkan bagi sebagian masyarakat yang ingin membeli. Meskipun
undang-undang sistem perbukuan telah diberlakukan, harga buku umum masih cukup mahal.
Mahalnya harga buku dikarenakan biaya produksi buku yang juga mahal.
Sedangkan pembudayaan membaca oleh
satuan pendidikan dilakukan melalui pemberdayaan perpustakaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 yang berbunyi Pembudayaan
kegemaran membaca pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai proses pembelajaran. Pemerintah telah menempatkan perpustakaan sekolah sebagai garda terdepan dalam membangun
budaya membaca dan aspek esensial suksesnya proses belajar mengajar. Dalam Standar Nasional Perpustakaan Tahun 2017, perpustakaan sekolah berfungsi sebagai pusat sumber belajar
guru dan siswa, pusat kegiatan literasi informasi, pusat penelitian, pusat kegiatan baca
membaca, dan tempat kegiatan kreatif, imajinatif, inspiratif dan menyenangkan. Lebih jauh lagi, pemerintah mendorong pembudayaan kegemaran membaca melalui
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Pada Pasal 74 Tentang Penghargaan Pembudayaan Kegemaran Membaca
ayat 1, disebutkan bahwa kegemaran membaca dilakukan melalui: gerakan nasional gemar
membaca, penyediaan buku murah dan berkualitas, pengembangan dan pemanfaatan
perpustakaan sebagai proses pembelajaran.
Gerakan nasional gemar membaca yang diamanatkan PP Nomor 24 Tahun 2014 ini
diperkuat lagi dengan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Dalam Bagian IV Tentang Mengembangkan Potensi Peserta Didik secara utuh, sekolah
hendaknya memfasilitasi secara optimal agar siswa bisa menemukenali dan mengembangkan
potensinya. Untuk mencapai tujuan ini sekolah wajib menggunakan 15 menit sebelum hari
pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari). Teknis pelaksanaan program gerakan nasional gemar membaca selanjutnya diatur
melalui Kemendikbud dengan menerbitkan petunjuk teknis Gerakan Literasi Nasional (GLN)
2017. Setelah GLN, Kemendikbud menerbitkan petunjuk teknis Gerakan Literasi Keluarga
(GLK), Gerakan Literasi Sekolah (GLS), dan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM). Dalam
setiap Juknis terdiri atas Modul/Bahan Bacaan (e-book dan bisa diunduh), Praktik Baik,
dan Data.
Dari
penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa: 1). Pemerintah telah serius dalam
membangun budaya literasi Indonesia. 2). Pemerintah belum maksimal mengawal berbagai
regulasi terkait gerakan literasi bangsa ini. Padahal, pemerintah berhak menjatuhkan sanksi
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku terhadap instansi yang tidak melaksanakan
program pemerintah ini. 3). Pemerintah membutuhkan peran serta para pemangku kebijakan,
pegiat literasi dan masyarakat umum untuk berkolaborasi mensukseskan program
mencerdaskan kehidupan bangsa ini.
Mari Kita Sukseskan Program Literasi dan Numerasi serta wujudkan Merdeka Belajar!